Kampanye literasi digital oleh Kominfo sangatlah esensial dan urgen karena di media sosial seringkali ada saja influencer yang mencoba ngeles atau membelokkan fakta. Salah satunya adalah dengan cara atau metode ‘Whataboutism’. What? Ya begitulah. Upaya ngeles santun dengan mengalihkan kritik ke pihaknya dengan menyodorkan seolah-olah fakta yang sebenarnya tidak ‘apple to apple’ tapi main cucoklogi saja. Karena itu sebagai pejuang liteasi melalui media ini akan terus memerangi ngeles model ‘Aboutism’ ini yang melakukan pembodohan lewat media. Kalau dibiarkan maka akan sangat bahaya apalagi ada pihak yang berseberangan ideologi dengan Pancasila dan UUD 1945 yang melakukkannya. Mereka akan terus masif dan kita akan lawan juga secara masif!
Ada video seorang influencer bernama Aab Elkarimi yang mengangkat isu khilafah yang lagi viral lalu mengaitkan dengan penemuan senjata dan alat peledak di Bandung. Tujuannya sebenarnya adalah untuk membuat pengalihan isu. Karena isu khilafah lagi marak dengan gerakannya Khilafatul Muslimin yang lagi diproses oleh pihak keamanan dan jadi berita nasional.
Sudah kebaca arahnya. Jelas banyak respon yang mendukung postingannya dalam video yang berjudul ‘Khilmus & Telolis’. Isu sensitif yang diangkatnya itu sebenarnya untuk membelokkan isu yang sedang marak saat ini. Sayangnya upayanya untuk melakukan apa yang namanya ‘Whataboutism’ itu tak berhasil.
Jadi ‘template’ atau ‘tipikal’ respon seperti Whataboutism ini sebenarnya marak kita temui di media sosial. Apa itu Whataboutism?
Whataboutism tak lain adalah teknik propaganda yang pernah digunakan oleh Uni Soviet. Lalu menjadi bentuk propaganda di Rusia pasca-Soviet. Whataboutism digunakan dengan tujuan mengalihkan serangan atau kritik terhadap Rusia. Sama halnya ketika terjadi konflik atau tepatnya invasi Rusia ke Ukraina maka model inilah yang sering dipakai.
Whataboutism berupaya mengalihkan kritik itu dengan mengekspos isu yang menurutnya selevel. Jadi seperti si Aab Elkarimi mencoba mengalihkan isu yang lagi ramai ini dengan menyajikan sesuatu yang menurutnya setara atau selevel padahal kenyataannya tidak. Dia menyatakan bahwa penemuan senjata atau alat peledak itu dengan menyebut nama pemilik rumah atau gedung tua itu adalah seorang Tionghoa lalu membandingkan dengan konvoi Khilafatul Muslimin. Lalu pemimpin gerakan itu markasnya digerebek dan ditindaklanjuti dengann penangkapan.
Dia lalu membahas soal bahan peledak itu dengan kutipan berita. Dia menyatakan bahwa jelas ada penemuan bahan peledak itu tapi ternyata nggak ada indikasi terorisme. (Nampak dia membahasakan dengan nada kecewa). Sedangkan dia lalu bernarasi bahwa akan berbeda dengan dia mengandai-andai kalau ditemukan bahan peledak itu di Petamburan atau semacamnya.
Respon klasiknya adalah OK, sebenarnya ‘mereka juga begitu, kok’, atau ‘toh, orang lain juga melakukannya,’. Dan lebih parah.
Ini adalah strategi ngeles atau taktik untuk mengaburkan fakta. Pemilik rumah tua itu sudah tua dan dari keadaannya memang sudah tidak terurus. Kok mau memaksakan klaimnya itu loh. Jadi pihak aparat juga pasti akan mengecek jejak digital dari pemilik rumahnya. Sedangkan jejak digital dari gerakan yang dibelanya itu ya sudha berceceran begitu banyak di negeri ini bahkan di luar negeri. Masih ngeles juga rupanya.
Gampang bsih menelusuri kenapa si influencer ini membela gerakan khilafah. Usut punya selidik si influencer ini ternyata punya kaitan sama HTI itu. Dia dekat dengan jubir HTI selama ini.
Pantaslah membela. Jadi dia mencoba melakukan pembenaran atas gerakan khilafah karena memang dia mendukung. Nggak heran lagi.
Salam literasi!