Sebelum 1992, peta dunia masih diisi oleh negara dengan nama Yugoslavia. Negara ini merupakan persatuan dari beberapa etnis yang berhasil disatukan oleh salah satu pemimpin perjuangan rakyat Yugoslavia mengusir Nazi pada 1941, Yosip Bross Tito.
Pada 1943, tepatnya pada tanggal 29 September 1943 Yugoslavia resmi berdiri sebagai sebuah negara dengan nama Republik Sosialis Yugoslavia dengan presiden pertamanya adalah Tito. Pada 1944, terbentuk pula negara-negara bagian yaitu Serbia, Montenegro, Croatia, Macedonia, Slovenia dan Bosnia Harzegovina.
Di antara negara2 pecahan Yugoslavia tersebut, ada tiga yang linear dengan agama yang dianut mayoritas warganya: Serbia dengan Protestantisme, Croatia dengan Katoliknya dan Bosnia Herzegovina dengan Islamnya.
Tidak seperti Indonesia, Yugoslavia yang terdiri dari beragam etnis tersebut bersatu hanya karena figur seorang Tito. Makanya, begitu Tito meninggal, negara-negara bagian tadi rame-rame memilih merdeka jadi negara sendiri. Itulah yang terjadi pada 1992. Sejak saat itu pula Yugoslavia terhapuskan dari peta dunia. Yang ada kini negara-negara kecil pecahannya di semenanjung Balkan.
Indonesia beda. Meski memiliki kemiripan dengan Yugoslavia, yakni masyarakat yang majemuk dan punya figur pemimpin pemersatu dalam diri Soekarno, masih punya unsur plus yakni Sumpah Pemuda yang mana menjadi salah satu tonggak sejarah kemerdekaan bangsa ini. Ini yang membuat kita bisa beda sedikit dengan Yugoslavia.
Namun, keberadaan Sumpah Pemuda tidak serta-merta membuat kita terbuai dan merasa seolah baik-baik saja. Justru di Indonesia ini tantangannya berat sekali. Tak cuma beragam SARA-nya, negeri ini kaya akan potensi sumber kekayaan alam. Masih pula ditambah dengan fakta empiris kalau negara ini adalah negara kepulauan.
Nah, di dunia ini ada sekelompok manusia yang menjadikan konflik sebagai lahan bisnis. Mereka berdagang konflik. Jahatnya, pakai bendera kemanusiaan pula.
Terkesan mereka ini peduli dengan isu HAM, padahal sejatinya mereka pula yang ada di balik konflik tersebut walau bukan aktor utamanya. Sebab, dengan memelihara konflik, mereka masih punya bahan untuk ditodongkan ke Bank Dunia demi ngalirnya dana bantuan kemanusiaan lewat lembaga-lembaga yang mereka kelola.
Di sini di kita sini, saya tengarai ada peran lembaga2 nonprofit dan prodemokrasi tersebut. Saya lihat lembaga tersebut juga bermain di Hongkong kemarin. Bisa anda sekalian simak nanti bukti keterkaitan antara yang bermain di Papua dengan di Hongkong itu datang dari lembaga yang sama nanti di video2 dan foto yang saya sertakan nanti di link di bawah ini.
Jadi, salah satu motif keberadaan konflik di negeri kita adalah kepentingan lembaga-lembaga yang atas nama HAM tadi. Jangan anda heran apabila Veronika Koeman dijadikan tersangka kini, padahal dia ini aktifis HAM.
Namun, bukan itu satu-satunya. Berikut ini adalah kelompok2 yang memiliki alasan untuk menciptakan instabilitas republik ini, yakni:
1. Oligark Soeharto. Mantan kroni Orba yang privilesenya semasa Orde Baru berkuasa kini dicopot sampai tak punya akses lagi pada penjarahan atas kekayaan bumi pertiwi.
2. Amerika dan antek2nya yang tidak ingin Indonesia muncul sebagai kekuatan ekonomi baru dunia.
3. HTI/FPI dan simpatisannya. Mereka ini kan di negeri asalnya ideologi khilafah malah tidak laku. Organisasinya diberangus. Indonesia sebagai negara dengan pemeluk muslim terbesar dunia pun mau dijadikan basis perjuangan khilafah islamiyah. Eh, kini dinyatakan terlarang pula oleh pemerintahan Jokowi.
4. Koruptor. Keberadaan mental-mental maling di sejumlah instansi pemerintahan namun jadi tak berdaya akibat prinsip transparansi akuntabilitas publik yang dicanangkan pemerintahan Jokowi.
Nah, keberadaan fakta-fakta di atas, sudah sangat jelas sebetulnya tentang potensi perpecahan di negeri kita ini. Apabila kelompok2 tadi bersatu, bukan tak mungkin Indonesia pun akan hilang dari peta dunia karena terpecah-pecah jadi negara-negara pecahan. Atau, kalau pun masih ada, mungkin hanya akan meliputi Jawa, sebagian Sumatera plus Madura saja. Lainnya sudah lepas sendiri-sendiri.
Kita tidak mau bernasib seperti Yugoslavia, kan?
Catatan penulis: untuk mengecek apakah betul bahwa ada kesamaan antara aktifis pro demokrasi di balik rusuh demo di Hongkong dan Papua kemarin, sila diperiksa di alamat ini:
(*)
Catatan Redaksi: kolom Celoteh Netizen adalah kolom khusus dari Narasikita untuk menampilkan status-status di medsos netizen yang dirasa layak. Status-status tersebut tidak harus viral, tapi paling penting bersifat informatif dan edukatif.