• Redaksi
  • Info Iklan
  • Kirim Tulisan
  • Daftar
Sunday, August 14, 2022
  • Login
No Result
View All Result
NEWSLETTER
narasikita.com
  • Home
  • Politik
  • Sejarah
  • Internasional
  • Celoteh netizen
  • Cerpen
  • Hiburan
  • Home
  • Politik
  • Sejarah
  • Internasional
  • Celoteh netizen
  • Cerpen
  • Hiburan
No Result
View All Result
narasikita.com
No Result
View All Result

Ulil Abshar Abdalla : Kenapa Strategi Pemerintah dalam Menghadapi Radikalisme Membingungkan?

oleh Narasi Kita
29/11/2019
di Headline, Politik, Sosial
0
Ulil Abshar Abdalla : Kenapa Strategi Pemerintah dalam Menghadapi Radikalisme Membingungkan?
1
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter
Harap diketahui, radikalisme Islam lebih banyak berkembang di sekolah-sekolah umum dan universitas negeri di bawah Kemendikbud, bukan di kalangan mahasiswa UIN/IAIN/STAIN dan pesantren yg berada di bawah yuridiksi Kemenag

Posisi pemerintah dalam soal FPI akhir-akhir ini tampak sekali “clueless”, membingungkan, sekurang-kurangnya jika kita lihat dari perkembangan terakhir seperti terlihat dalam pernyataan Menag dan Menkopolhukam. Ini menandakan bahwa pemerintah sendiri sebetulnya tidak memiliki strategi yang “clear”, sehingga tampak masih “grayang-grayang”: mau memperpanjang SKT FPI atau tidak?

Para “penggaung” (buzzer) pemerintah semula membangun narasi yang menarik sebagai dukungan untuk kebijakan Pak Jokowi yang memilih Fachrul Rozi yang berlatar militer itu untuk menjadi Menag. Narasinya adalah: karena pemerintah ingin serius melawan radikalisme. Itulah sebabnya dipilih jenderal untuk mengomandoi Kemenag, bukan menteri sipil yang diandaikan “lunak” dan “tak bergigi” dalam menghadapi kelompok-kelompok radikal.

Catatan selingan: Harap diketahui, radikalisme Islam lebih banyak berkembang di sekolah-sekolah umum dan universitas negeri di bawah Kemendikbud, bukan di kalangan mahasiswa UIN/IAIN/STAIN dan pesantren yg berada di bawah yuridiksi Kemenag. Itulah sebabnya, saya sejak awal menganggap kebijakan Pak Jokowi memilih jenderal sebagai Menag ini salah sasaran, “a misplaced policy”. Jika niatnya serius mau melawan radikalisme Islam, Fachrul Rozi lah yang seharusnya diangkat menjadi Mendikbud, bukan Nadiem Makarim. Sekali lagi: ini kalau tujuannya untuk melawan radikalisme. Kecuali jika ada “tujuan” dan “motif” yang lain yang tersembunyi.

Baik, saya teruskan. Beberapa saat setelah diangkat menjadi Menag, muncul “a promising shock therapy”, gebrakan yang seolah-olah menjanjikan dari Pak Fachrul Rozi: melarang ASN di lingkungan Kemenag untuk memakai cadar. Anda tahu, cadar adalah pakaian penutup muka yang dipakai perempuan, bukan laki-laki.

Akan tetapi, belum lewat satu bulan, muncul perkembangan lain yang agak aneh, dan menampakkan kebingungan di pihak Menag. Menghadapi isu FPI, Menag justru mengambil posisi yang teramat lunak. Dalam beberapa statemen publiknya, Menag censerung mendorong untuk memperpanjang SKT FPI, karena ormas yang terakhir ini sudah “bai’at” dan berjanji loyal kepada Pancasila dan NKRI.

Sikap Menag ini membingungkan sekali. Isu FPI jelas jauh lebih krusial, serius dan penting dalam perang melawan radikalisme ketimbang masalah cadar. Kenapa dalam soal cadar Menag keras, sementara dalam isu FPI kok lunak? Ada apa di balik ini? Ini pertanyaan yang membutuhkan investigasi lebih jauh. Adakah “kaitan tersembunyi” antara Menag dengan FPI, sehingga dia menampakkan kelunakan pada ormas ini?

Baca Juga :

Horor! Aroma Style ISIS di Balik Penculikan Ninoy Karundeng

Warga NU Harus Tahu, Dari Mana Sumber Dana Gerakan Khilafah

214 T dari Papua untuk RI sejak 1992, Rasis Beginikah Balasan untuk Papua?

Yang menarik, Menag juga bersikap lunak terhadap celana cingkrang. Kita baca statemen dia dalam soal celana cingkrang ini di media massa: dia tak mempunyai keberatan apapun.

Pertanyaannya: Kenapa Pak Fachrul Rozi besikap keras terhadap cadar, tetapi toleran pada celana cingkrang, padahal keduanya satu paket? Baik cadar dan celana cingkrang secara umum (meski tidak dalam semua kasus) berasal dari satu sumber yang sama: prmahaman ala salafi-wahabi.

Posisi Menag ini, dipandang dari sudut analisa gender, jelas sangat bermasalah karena menampakkan gejala seksisme. Dia hanya mempersoalkan cadar saja, sementara celana cingkrang yang dipakai kaum laki-laki ditoleransi. Teman-teman feminis mestinya berbicara soal “ambiguitas” dan seksisme di balik pernyataan Menag Fachrul Rozi ini.

Di sisi lain, baru-baru ini 11 kementerian “meneken” SKB yang bertujuan untuk menangkal penyebaran radikalisme di kalangan ASN. Kebijakan ini sendiei mengandung banyak masalah sebetulnya, tetapi ini isu lain yg bisa didiskusikan secara terpisah. Dengan kebijakan ini, pemerintah ingin mengirim pesan bahwa dia serius menghadapi isu radikalisme Islam. Tetapi pesan ini tampak tidak singkron dengan pernyataan-pernyataan Meng soal FPI.

Poin saya: pemerintah mengirim pesan yg simpang-siur mengenai soal radikalisme ini. Di satu pihak ingin memerangi radikalisme, di pihak lain menampakkan gejala ingin memberi ruang kembali kepada FPI. Apakah di mata pemerintah FPI bukan merupakan salah satu manifestasi dari radikalisme Islam? Apakah seorang ASN yang me-like konten yang berisi hoax atau mendukung ide-ide radikal jauh lebih berbahaya (sehingga harus dilaporkan, menurut isi SKB yang baru saja diteken itu) ketimbang FPI?

Inkonsistensi seperti ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah tak punya visi yang jelas tentang strategi menghadapi radikalisme.

Belum lagi jika kita persoalkan argumen pemerintah mengenai posisi FPI terhadap ide khilafah. Salah satu alasan keberatan pemerintah untuk memperpanjang SKT FPI (sebelum akhirnya melunak karena FPI sudah melunak dan loyal pada Pancasila — menurut versi Pak Fachrul Rozi) adalah karena ormas ini mendukung ide khilafah.

Pertanyaanya: Apakah ide khilafah yang dianut FPI sama dengan HTI atau ISIS? Menurut saya, jelas berbeda. Bahkan HTI pun memiliki pemahaman yang berbeda soal khilafah ini dari kelompok-kelompok lain. Tidak semua yang menganut ide khilafah bisa “digebyah-uyah”, disamakan. Kalau semua yang mendukung ide khilafah harus dilarang, jelas berbahaya. Ahmadiyah bisa dilarang juga karena menganut dan mempraktekkan ide khilafah. Kelompok tarekat tertentu juga menganut ide khilafah.

Dengan kata lain, banyak bolong-bolong dalam kebijakan pemerintah untuk mengatasi radikalisme, tetapi, sayang sekali, publik pada umumnya seperti sengaja mengabaikan atau tutup mata, kerana ketakutan dan “paranoia” terhadap Islam radikal.

Saya mendukung upaya pemerintah melawan radikalisme, tetapi ini bukan berarti memberikan “cek kosong” kepada pemerintah sehingga kita tidak mau menguliti detil kebijakan yang diambil pemerintah.

Kita harus kritis juga terhadap gejala yang tampaknya mulai merebak akhir-akhir ini: menjadikan isu radikalisme sebagai alat untuk membungkam suara-suara kritis pada pemerintah. Jangan sampai isu radikalisme ini dijadikan alasan untuk membungkam setiap bentuk oposisi. Ini berbahaya bagi masa depan demokrasi kita.

Saya ingin pemerintah melawan radikalisme Islam tanpa mengorbankan demokrasi. Jika ini kita lakukan, kita tak akan beda dengan negeri-negeri otoriter di Timur Tengah.

Sekian.

Tags: FPIHTIISISKemenagradikalismeUlil Abshar Abdalla
Narasi Kita

Narasi Kita

"Belajar tanpa Berpikir itu tidaklah Berguna, tapi Berpikir tanpa Belajar itu sangatlah Berbahaya! - Soekarno.

Berikutnya
Pertamina Serobot Jalan Masyarakat, Gubernur Kalteng Ambil Alih

Pertamina Serobot Jalan Masyarakat, Gubernur Kalteng Ambil Alih

My Tweets

Populer

  • LBH Jakarta Siap Gugat Johnny Plate, Mengapa Tidak Menguji ke MA?

    LBH Jakarta Siap Gugat Johnny Plate, Mengapa Tidak Menguji ke MA?

    289 shares
    Share 1 Tweet 1
  • Tragis! Jonathan Christie Dihujat karena Agamanya

    6121 shares
    Share 6121 Tweet 0
  • UMKM Digital pada 2022 Sudah 95 Persen Tercapai

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Terkuak! Akun @KatolikG Mengungkap, Slamet Hari Natal Ternyata Islam

    181 shares
    Share 181 Tweet 0
  • Hajatan Anak Sultan, Stand Makanan Mulai dari Sushi Tei Hingga Starbucks!

    252 shares
    Share 252 Tweet 0
  • Tentang
  • Redaksi
  • Info Iklan
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer

© 2018 www.narasikita.com

No Result
View All Result
  • Home
  • Politik
  • Sejarah
  • Internasional
  • Celoteh netizen
  • Cerpen
  • Hiburan

© 2018 www.narasikita.com

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Password Reset
Please enter your e-mail address. You will receive a new password via e-mail.