Tantrum itu sebuah perilaku kanak-kanak menarik perhatian orang tua atau orang dewasa di sekitarnya agar memberikan kepadanya perhatian, memenuhi permintaan, atau mau mendengarkannya.
Bentuknya bisa merontak-rontak, berguling-guling, atau diam seribu bahasa. Memang tidak setepat itu jika bertanya kepada Tante Wiki, atau Mbah Gugle, namun sederhananya demikian.
Orang tua yang bijaksana akan mendiamkan saja, sampai anak itu tenang, hanya diamnya bukan cuek dan masa bodoh, tetap memperhatikan dengan baik,asal tidak menunjukkan tanda-tanda membayakan diri anak tersebut, ingat jangan sampai anak merasa dan tahu diperhatikan. Pun ahli menyatakan hal yang sama.
Mengapa demikian? Agar anak tidak menggunakan mekanisme tersebut setiap kali keinginannya tidak terpenuhi. Ketika sudah tenang dan reaksi negatif sudah hilang, anak sudah kembali seperti wajarnya, diajak berbicara agar bisa mengerti dan ada titik temu.
Anak sudah mampu kog diskusi dan orang tua boleh mengatakan tidak suka, atau tidak mau lagi ada adegan demikian, asal bukan membentak atau mengancam.
Perilaku lain, orang tua yang perhatian namun salah, akan memilih untuk merayu, membentak, atau memberikan janji-janji yang memang bisa sukses dalam sekejab, namun ingat itu akan dilakukan terus dan berulang, karena anak membaca orang tua bisa “dikalahkan” jika aku memilih tantrum dengan cara demikian.
Dengan dalih malu, merasa tidak enak karena di depan umum, atau tidak tahan suara dan komentar orang kog tega anak dibiarkan ngamuk, dan itu yang dimaui anak. Mekanisme naluriah, dan itu yang perlu dididik, apa salah? Jelas tidak.
Lebih baru dan menarik adalah apa yang ternyata dilakukan Prabowo. Ia ternyata tidak tahan dengan mekanisme Pak Beye yang ngambeg. Ia datangi dan sowani, kena deh begitu dalam benak Pak Beye. Beberapa perilaku Pak Beye dan Demokrat yang ngambeg karena tidak terfasilitasi adalah: