Heru Hidayat mungkin tak pernah menyangka bahwa karir kepengusahaannya bakal berakhir di pengadilan korupsi. Nasib hidup matinya juga ikut ditentukan di sana. Sebab, sebagaimana diketahui, dia dituntut dengan hukuman mati oleh JPU dalam perkara ASABRI yang menyeretnya ke pengadilan tipikor.
Sebelumnya, dia juga telah diputus dengan hukuman seumur hidup oleh pengadilan yang sama pada perkara yang berbeda yang diterimanya tahun lalu, Jiwasraya. Hari ini, atas kebangkrutan ASABRI, dirinya ikut dituduh sebagai biang kerok dengan tuduhan tak main-main: melakukan korupsi hingga menyebabkan kebangkrutan pada perusahaan plat merah itu.
Dalam pembacaan dakwaan pada sidang terhadapnya akhir tahun kemarin, oleh JPU ia pun dituntut dengan hukuman mati.
Nah, tuntutan hukuman mati inilah yang memantik reaksi kontroversial di mata publik. Tidak sedikit pakar hukum tanah air bersuara mengomentari tuntutan tersebut. Kontroversi tuntutan itu dipengaruhi oleh tak disertakannya ayat mengenai hukuman mati terhadap koruptor oleh JPU dalam dakwaan.
Pasal 2 UU Tipikor mengatur persyaratan seorang koruptor dituntut dengan hukuman mati. Di sana tertera dengan jelas bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan kepada terdakwa tindak pidana korupsi apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
- Korupsi dilakukan ketika negara sedang alami bencana nasional;
- Negara sedang alami krisis moneter; dan
- Terdakwa melakukan korupsi sebagai tindakan perulangan atas kasus yang pernah membawanya masuk penjara
Heru Hidayat divonis bersalah pada kasus Jiwasraya. Di kasus itu dia divonis dengan hukuman seumur hidup. Jika korupsi yang dituduhkan kepadanya dalam kasus ASABRI dihubung-hubungkan dengan Jiwasraya hingga menyebabkannya pantas dituntut dengan hukuman mati di ASABRI, maka ini jelas cacat. Sebab, dia belum menyelesaikan hukumannya di kasus terdahulu (Jiwasraya) saat kasus kedua dia lakukan (korupsi di ASABRI).
Pada alasan itu saja sudah tidak bisa terpenuhi dalam diri Heru. Apalagi jika 2 syarat lain dari pasal 2 UU Tipikor dijeratkan kepadanya hingga pantas untuk dituntut dengan hukuman mati. Saat Heru tercatat terlibat dalam aktivitas usaha ASABRI, negara tidak sedang alami bencana alam nasional. Negara juga tidak sedang alami krisis moneter.
Lantas, dari mana dalilnya sampai dia pantas untuk dituntut dengan hukuman mati oleh JPU di persidangan kasus ASABRI? Kontroversi inilah yang membuat publik bertanya-tanya, ada apakah gerangan di balik tuntutan hukuman mati terhadap Heru Hidayat ini.
Beruntung bahwa pada sidang terhadap terdakwa lainnya yang divonis duluan sejak awal bulan ini kemarin terdapat fenomena vonis yang diwarnai dengan dissenting opinion oleh anggota majelis hakim. Hal mana membuat publik jadi yakin bahwa hakim yang menangani perkara ASABRI ini masih ada yang memiliki nurani dan berlaku profesional dalam memutuskan perkara.
Fakta keberadaan dissenting opinion pada dua sidang terdahulu ini kemudian menerbitkan sedikit harapan bahwa vonis terhadap Heru Hidayat juga akan diwarnai dengan dissenting opinion. Tidak saja karena materi kasusnya mengandung sejumlah besar kelemahan tentang kontribusi Heru pada penyebab kejatuhan ASABRI, juga karena tak terpenuhinya syarat-syarat yang diminta UU Tipikor untuk dijeratkan kepadanya dengan hukuman mati.
Karena itu, agenda sidang hari ini yang akan menentukan vonis bagi Heru akan menjadi hari di mana integritas dan profesionalisme para hakim bakal diuji. Akankah para hakim akan mengabulkan tuntutan jaksa yang mengandung kontroversi itu ataukah hakim menolak. Mengabulkan tuntutan jaksa berarti hakim kita yang menangani perkara ASABRI ikut berlaku tyran terhadap terdakwa. Menolak berarti hakim kita masih bisa diandalkan untuk mengeakkan keadilan di negeri ini di hadapan kasus korupsi. Ya, semoga saja hakim kita tetap berintegritas dan profesional.