Tempo adalah sebuah dagang, sebuah korporat. Kisah tentangnya beberapa minggu terakhir ini adalah kisah ironi. Bagaimana tidak, Tempo bagai tengah berupaya menghujam pisau pada lawan, pisaunya terpental, malah menghujam dada sendiri. Tragis pastinya.
Sebagai perusahaan bisnis, se-independen apapun tagline yang mereka usung, tetap tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa mereka hidup dari penjualan dan iklan.
Di sisi lain, sebagai perusahaan, Tempo juga berkewajiban menggaji karyawan, ada banyak pula mesin yang harus digerakkan dengan energi yang berbayar. Dari mana semua ini akan dibiayai? Ya dari penjualan plus ruang iklan yang mereka sediakan buat advertiser.
Selama bertahun-tahun Tempo punya basis pembaca setia yang menghidupkan lini bisnis mereka. Para pembaca ini membeli majalah tiap pekan (penjualan) dan juga jadi market dari iklan yang masuk lewat mereka (pendapatan dari ruang iklan).
Tapi, siapa sebenarnya basis pembaca Tempo? Gak bisa dipungkiri, basis pembaca Tempo selama bertahun-tahun terakhir ini adalah kaum nasionalis kritis yang suka dan dekat dengan statistik dan kinerja pasti.
Basis pembaca inilah yang selalu menjadikan Tempo bahan rujukan bacaannya. Inilah yang menggerakkan konglomerasi bisnis Tempo. Yang tidak setuju pendapat ini mungkin dulu malah bukan pembaca tempo sama sekali.
Tragedi Itu Datang
Semuanya berjalan normal layaknya sebuah perusahaan hingga suatu hari tanpa terduga, Tempo muncul dengan edisi yang menghina sekali seorang Jokowi, berbayang hidung Pinokio, tanpa basa-basi dengan title yang menyesakkan hati.
Naifnya, berita edisi itu hanya berdasarkan opini satu sisi, tanpa mengindahkan etika jurnalistik yakni pihak yang diserang harus dikonfirmasi. Prinsip cover both side sebagai kewajiban sebuah media dalam memublikasikan berita dilangkahi mereka secara sengaja, jauh dari kebiasaannya.
Basis pembacanya yang nota benenya adalah nasionalis kritis dan penyuka statistik tentu saja dibuat gusar. Apalagi, yang menduduki kelas pembaca kritis tersebut adalah rata-rata pendukung Jokowi. Maka bisa ditebak, Tempo edisi itu pun diprotes dalam banyak ragam ekspresi.
Namun, seolah tak puas, Tempo kembali menyerang Jokowi setelahnya dengan cover Karhutla yang sangat jelas covernya membakar Jokowi dengan api. Kali ini, Tempo menampilkan dirinya tak ubah seperti media macam Obor Rakyat, menyerang-menyerang brutal dari satu sisi opini saja. Alhasil, konflik terbuka pun mulai terjadi antara Tempo dengan para pembaca kritisnya, tak lain dari pendukung Jokowi juga.
Bagi para pembaca setia Tempo ini, penggiringan opini adalah sebuah kejahatan jurnalistik. Mereka rata-rata bukan orang yang mudah digiring oleh opini meski di sisi lain mereka juga merupakan orang-orang yang setia pada tempo bertahun-tahun. Tempo pun mulai dikerubuti asap buatan sendiri.
Pembaca tempo bertahun-tahun adalah mereka yang menyukai data dan statistik. Meski demikian, mereka membaca pakai mata dan juga hati. Karenanya ketika Jokowi diserang isu KPK Pinokio, tentu pada mengerti bahwa ini adalah klaim sepihak. Ini adalah penggiringan opini. Sebab apa? 5 tahun pemerintahan ini apa pernah Jokowi melemahkan lembaga anti korupsi ini? Jawabannya: Never!
Justru Jokowi tak pernah melakukan intervensi, silahkan KPK sadap semua menteri atau pejabat lain sesuka hati. Asal ada bukti, silahkan KPK beraksi. Terus, apa salah jokowi hingga tiba-tiba diserang sangat brutal oleh Tempo?
Satu api terpantik. Begitu benci pasti ada sebab. Tak mungkin ujug-ujug Tempo membenci Jokowi tanpa alasan pasti. Mana mungkin, DPR yang memulai polemik seputar KPK tersebut, yang diserang Tempo malah Jokowi. Hanya saja, apa yang mendasari mereka sampai menyerang Jokowi, masih misterius.
Lebih misterius lagi soal pembelaan Tempo terhadap KPK. Ada hubungan apa Tempo dengan KPK sampai Tempo jadi sedemikian beringas menyerang Jokowi akibat wacana Jokowi menyetujui rencana revisi UU KPK namun dengan sejumlah syarat. Padahal, kalau disimak dengan baik malah revisi versi Presiden ini justru sangat memperkuat KPK itu sendiri.
Begitu was-wasnya Tempo dengan hal ini, membuat netizen mencium bau anyir kongkalikong Tempo dan KPK sehingga mereka pun beramai-ramai meneliti.
Netizen Bergerak, Tempo pun Selesai
Hasilnya, netizen sangat optimal menggerogoti. Hampir setengah penjualan Tempo tak terbeli, bila diteruskan ini mengancam kesehatan media cetak yang sebenarnya sudah kembang-kempis di era media online dan sosmed yang kian sadis berekspansi.
Tak hanya lini cetak, di lini media online pun kejadian BukaLapak yang tak tau balas budi pun terulang. Tempo diserang mereka dengan ganas. Tempo ramai-ramai diuninstall, kolom review tiba-tiba berwarna merah hati, yang kalau diteruskan dapat berarti Tempo akan perlahan mati. Tempo seolah sudah lupa basis pembacanya.
Tragis buat Tempo. Sebab media online itu punya ukuran pasti, setiap menit jumlah pembaca bisa dilihat dengan angka yang akurat. Berapa jumlah reader itu akan terlihat dan bisa dijual ke pemasang iklan. Kabarnya, sampai tulisan ini dibuat, jumlah pembaca Tempo online sudah ditinggal sekian banyak pembacanya.
Tentu tidak mudah mencari base pembaca. Tapi Tempo malah mengalami degradasi valuabilitas dari A terjun bebas ke C. Istilah kasarnya sudah bertahun-tahun dibaca oleh fans Jokowi tahu-tahu sekarang dicampakkan begitu saja, secara massal pula.
Terus, Tempo kini hendak menyasar kadrun? Tunggu dulu! Tak mudah tiba-tiba Tempo dibaca kadrun karena latarnya yang tadinya merupakan bacaan fans Jokowi. Mungkin satu dua edisi iya. Berharap selamanya? Hehehe… Selamat deh ya.
Tempo pernah dibredel oleh rezim Soeharto karena kritis menyoroti. Kini tiba-tiba dibredel oleh netizen sejati, itu pedih. Dibredel pemerintah itu seperti hero, tapi dibredel pembaca itu bisnis dan brand akan segera mati.
Tempo pun beraksi mencari kambing hitam siapa penyebab suramnya bisnis ini, karena kalo dibiarkan tak muskil PHK besar-besaran perampingan akan terjadi. Levelnya menjadi media kecil, Tempo akan menjadi media penjual bau terasi, jual diri demi periuk nasi.
Dia pun menuduh tentang adanya buzzer berbayar. Tuduhan ini justru menambah panjangnya perseteruan. Sebab seolah para pembacanya yang meninggalkannya dengan tiba-tiba adalah akibat adanya buzzer yang dibayar Jokowi untuk berkampanye sekongkol menjauhinya dalam keadaan nestapa. Padahal Jokowi tak punya Buzzer, adanya relawan-relawan grup-grup yang sukarela berkumpul karena merasa sehati, bersimpati pada Jokowi.
Tempo menuding-nuding buzzer Jokowi mendengung sembari berceloteh tentang ancaman akan demokrasi, padahal Tempo mengerti ini bukan buzzer tapi aksi solidaritas untuk menahan serangan sesuka hati. Tempo seolah lupa bahwa para relawan Jokowi tak akan mudah digiring opini dan selalu siap melakukan aksi perang Opini.
Kalau bicara jujur tentang buzzer, itu memang beneran ada. Tapi pasti bukan pendukung Jokowi. Sebab apa, buzzer itu rela memfitnah dan menyebar hoax demi segepok rupiah. Jadi, jelas itu bukan dari Jokowi. Sebab, bagaimana mungkin dia membayar buzzer untuk menyerang dirinya sendiri? Faktanya, fitnah dan hujatan, hoax dan giring opini begitu membadai menghantam Jokowi selama 5 tahunan ini.
Herannya, Tempo membisu. Ke mana dia sebenarnya saat buzzer ramai menyerang Jokowi dengan hoax masalah agama dan komunis? Padahal itulah yang sebenar-benarnya buzzer bayaran sejati. Fakta tak ada tapi sengaja mengarang demi besarnya kebencian kepada Jokowi.
Sebaliknya relawan Jokowi itu sudah khas bergeraknya, sibuk upload karya pembangunan pemerintah Jokowi dan akan beraksi bila ada yang menyerang. Mereka berbasis fakta empiris, tidak asal cuap. Tak pernah mereka menyerang lebih dulu, karena Pak Jokowi besar bukan karena menyerang lawan. Never! Itu pedoman relawan Jokowi.
Justru kalau melihat gelaja yang ada, Tempo itulah sekumpulan buzzer. Tempo sengaja mengarang demi mulusnya fulus mengalir dari lezatnya kue politik. Mungkin Tempo berharap bahwa dengan bikin edisi yang kontroversial, bakal banyak yang melirik, membludak yang membeli majalahnya, mengantri yang membaca versi onlinenya.
Apa daya justru fatal yang diterima. Berharap bahwa dengan berdengung mengganggu maka lawannya pun lari pontang-panting, yang ada malah seperti lebah yang marah karena sarangnya hendak diambil pencuri. Kata lebah, emang kamu aja yang boleh nulis seenaknya, netijen lebih sadis breyyy…. Tempo kena batu.
Lihat saja! Akibat panik, Tempo lantas menjadikan Buzzer sebagai ancaman demokrasi di tajuk utamanya. Justru sebaliknya, netijen kritis adalah syarat mutlak terbangunnya iklim demokrasi di peradaban serba online seperti sekarang ini. Sejauh tidak menyebar fitnah dan hoax, netijen-netijen jenis ini malah menggaransi tegaknya demokrasi.
Heran, Tempo seperti tak ada topik lain yang lebih sexy. Kenapa Tempo malah tidak tertarik membahas Mulan Jamelah yang merebut kursi orang padahal itulah pengkhianatan demokrasi, terpampang jelas sekali di depan hidung Tempo.
Jadi, sebenarnya ini bukan masalah buzzer yang menyerang demokrasi, melainkan Tempo sedang panik, statistik bisnis nya sedang anjlok tak terperi. Bisnisnya sedang diserang, api yang membakar diri sendiri! Dia panik lalu cari-cari kambing hitam, bukan memulihkan malah makin menghanguskan bisnis besar sekaliber Tempo.
Karma pengkhianatan pada pembaca setia itu pedih, Tempo. Kalau kamu tak segera kembali ke jalan yang benar, mungkin kamu akan jadi tinggal kenangan saja, menjadi mantan yang tak layak menyandang predikat terindah, cuma pernah menoreh kisah. Anyep!
Hati-Hati Tempo, mungkin kamu tinggal menghitung hari, tagar #AyoMakanTempe bisa-bisa jadi gerbang kematian buatmu.(*)
Catatan Redaksi: tulisan ini milik seseorang dengan nama pena Pulchra Amor, dikirim via email ke redaksi. Kami mengangkatnya karena aktual.