List obligor BLBI (list lainnya silahkan geser kanan)
Saya ingat baik, awal 2018 publik semua dikejutkan dengan keputusan polisi yang meng-SP3-kan Riziek Shihab. Sebagai tokoh yang lumayan banyak melanggar kasus hukum, SP3 yang diberikan untuk RS kala itu wajar menuai reaksi protes banyak orang. Salah satunya adalah saya.
Ketika itu, lewat akun twitter, saya melontarkan kritikan lumayan tajam untuk Jokowi yang seketika menuai serangan dari pendukung Jokowi. Sewaktu SP3 pertama keluar, jujur saja, saat itu saya belum mengetahui dengan benar akar persoalannya. Beruntung ada seseorang yang dengan sabarnya memberikan pencerahan ke saya terkait apa yang sebenarnya terjadi. Alhasil, sewaktu SP 3 kedua keluar, saya tak seberapa kaget meski tetap kecewa.
Minusnya Kepastian Hukum di Negeri Ini
Semakin ke sini, semakin terang benderang saya melihat akar terdalam yang dialami bangsa ini sehingga bahkan sosok bersih dan lurus hati seperti Jokowi sekalipun tidak bisa seketika membereskan kemelut bangsa ini. Akar itu tak lain dari kepastian hukum.
Ketidakpastian hukum pulalah yang membuat kita kadang mengernyitkan kening melihat Jokowi tidak tampil seperti layaknya orang yang bersih. Dia rupanya tersandera kepentingan yang membuatnya tidak dapat menegakkan hukum secara semestinya.
Saling sandera adalah potret wajar dari sebuah proses pasca bebas dari rezim tyran yang membiasakan KKN sebagai hal yang wajar yakni Orde Baru. Kekuasaan selama 32 tahun Orde Baru yang lekat dengan praktek KKN membuat banyak orang yang menikmati hasilnya secara tidak semestinya.
Maka, begitu bebas dari rezim tersebut, golongan yang menikmati hasil tadi seketika sulit untuk dienyahkan sebab mereka terlanjur menancapkan pengaruh pada birokrasi juga stratifikasi sosial. Dengan pundi-pundi kekayaan yang mereka kumpulkan saat jadi anak emas rezim Orde Baru, mereka masih bisa mempertontonkan kepiawaiannya dalam mempermainkan logika hukum di negeri ini. Alhasil, beberapa kebijakan publik rezim terkini pun serta-merta menuai pro kontra.
Demikian, kita jadi maklum kenapa Jokowi sedemikian gusarnya dengan situasi yang ada. Beberapa hari yang lalu misalnya seusai menggelar rapat terbatas dengan jajaran pembantunya, Jokowi mengungkapkan kegusarannya melihat neraca perdagangan RI berjalan di tempat, punya kecenderungan untuk menurun.
Investasi dan Ekspor adalah Korban Langsung dari Ketidakpastian Hukum
Kegusaran Jokowi wajar. Di tengah gegap gempitanya dia dan jajaran pembantunya hendak menggenjot pertumbuhan ekonomi negeri, malah menunjukkan kelesuan pada sisi ekspor dan investasi.
Idealnya, bila infrastruktur sudah tergarap nyaris tuntas, investor dari luar seharusnya mulai membanjiri negeri. Nyatanya lesu. Produksi dalam negeri juga menunjukkan grafik yang sama hal mana membuat angka persentase ekspor kita ikutan mandeg.
Mengapa demikian? Ternyata, itu terjadi akibat negeri kita masih belum menunjukkan tajinya dalam penegakan hukum. Ketidakpastian soal hukum inilah yang membuat investor-investor luar pada mikir untuk berani menanam modal di dalam negeri kita.
Giliran pemerintah hendak tegas menegakkan hukum, malah menemui benturan kepentingan akibat warisan masa silam seperti yang tadi sudah dijelaskan.
Lantas, apakah negeri ini selamanya akan terjebak dalam kenyataan pahit seperti itu? Bisa iya, bisa tidak. Kita bisa lepas dari belenggu tersebut apabila orang-orang dari masa lalu tidak diberi panggung. Hal mana akan membuat pemerintah bisa mengagendakan penyelenggaraan pemerintahan yang berwibawa tanpa takut bakal dirong-rong kepentingan orang-orang dari masa lalu. Kebalikan dari itu ialah kita akan jalan di tempat.
BLBI Dijadikan Sandera
Nah, ketidakpastian hukum yang jadi diskursus kita kali ini juga menimpa BLBI. Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia sampai kini terus saja digoreng orang-orang dengan kepentingannya bahwa seolah kebijakan tersebut adalah keliru. Padahal sudah teramat banyak telaah dan kajian disampaikan mulai dari para pelaku bisnis, praktisi hukum, pengamat perbankan, bahkan politisi yang mencoba menjelaskan bahwa BLBI bukan merupakan skandal.
Kebijakan itu diambil karena rata-rata bank pada 1998 semuanya terkena dampak krisis moneter. Pemerintah kala itu pun tergerak hatinya untuk menyehatkan kembali perbankan supaya tidak makin jatuh dengan menerbitkan kebijakan bantuan likuiditas.
Orang begitu mudahnya menjadikan kasus itu sebagai tindakan menggadaikan nasib negeri. Padahal kritikan tajam mereka itu ditinjau dari sudut situasi normal masa sekarang. Sebab, siapapun yang jadi pemimpin negeri di masa krisis tersebut dulu, apabila memang berkehendak untuk menyelamatkan negeri, pasti akan melakukan hal yang sama. Namun, faktanya masih banyak saja yang menjadikan kasus tersebut untuk mendiskreditkan BI.
Jadi, sebenarnya kasus BLBI tidak perlu dijadikan sandera kepentingan lagi mengingat kasus ini terang -benderang sebab sudah diselesaikan melalui berbagai proses dan langkah hukum, bahkan politik. Contoh Konkrit yang dialami oleh BDNI. Faktanya, salah satu penerima dana BLBI itu sudah melakukan kewajiban hukumnya. Pemerintah sudah menerbitkan SKL sesuai amanat TAP MPR No. X Tahun 2001, TAP MPR No. VI Tahun 2002. Dasar hukum lainnya juga adalah UU Propenas, Laporan Audit BPK tahun 2002 dan 2006, Surat Keterangan Lunas (SKL), dan Surat Release and Discharge (R&D) yang dikeluarkan oleh pemerintah dan sudah dikuatkan dalam Akta Notaris pada tahun 1999 menyatakan kasus ini sudah selesai. BDNI dalam hal ini Sjamsul Nursalim (SN) sudah memenuhi semua kewajiban yang diamanatkan. Artinya, dari segi hukum seharusnya kasus ini sudah selesai.
Anehnya KPK menetapkan SN sebagai tersangka karena dianggap belum melunasi pinjaman kepada petani/petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Sementara hutang perternak adalah asset BDNI yang melekat pada BDNI, sehingga menjadi faktor pengurang nilai asset saat BDNI diambil alih oleh pemerintah (BPPN) tanggal 4 April 1998.
Jadi, kalaupun ada kesalahan perhitungan asset, apakah SN yang pantas bertanggung jawab? Selain itu dari sekian banyak Obligor BLBI kenapa yang sudah melunasi kewajiban seperti SN ini yang dipermasalahkan kembali?
Harusnya, kontroversi terkait BLBI sudah pantas untuk diakhiri. Jangan sampai masih ada yang menggorengnya lagi. Kita toh tidak mungkin andalkan “kaca spion” untuk melihat jalan di depan menuju cita-cita menjadi kekuatan ekonomi baru dunia yang diprediksi bakal terjadi pada 2030 ke sana.
Karena itu, apa yang sudah menjadi produk hukum harusnya diindahkan. Tidak lagi dipersoalkan supaya jangan ada saling sandera yang menyebabkan ketidakleluasaan bergerak membangun negeri. Kasus BLBI sudah selesai, dalam arti sudah tuntas dari sudut pandang hukum. Lantas kenapa masih terus dipersoalkan?
‘Kan aneh bila dinalar. Riziek Shihab yang buron dan melanggar banyak pasal hukum dalam banyak kasus yang berbeda malah di-SP3. Nihil prestasi, gede bacot dan andalkan gerombolan FPI-nya doang tapi oleh negara malah terkesan diistimewakan. Di sisi lain, Sjamsul Nursalim yang nyata-nyata mematuhi perintah hukum, taat membayar pajak senilai total 8 trilyun buat negara tiap tahun malah diperlakukan bagai buronan.
Lalu, sampai kapan anomali hukum seperti ini hilang dari antara kita? Keburu bubar Indonesia kalau kepastian hukum tetap jadi mainan guna mengeruk untung pribadi. Camkan!(*)