Laki-laki itu meneteskan air matanya dengan cara yang paling hancur dan pilu. Berbulir-bulir menetes mengaliri pipi dan membasahi dagunya. Hidungnya yang agak bengkok memerah. Cairan kental lengket terlihat mulai memenuhi lubang hidungnya dan menetes di atas bibirnya yang tebal, memberi kesan mengeceh.
Lindia membuang mukanya ke samping, kenyataan di depannya seolah begitu membuat susah. Tapi hatinya tidak tersentuh.
Laki-laki itu kembali meraung, seperti anak serigala. Angin bertiup perlahan di hamparan nisan-nisan bisu. Nisan-nisan yang tidak memiliki kisah lagi, yang tidak perlu ditakuti lagi. Baik dendamnya, baik jahatnya maupun kenangannya yang baik.
Lindia melipat kedua tangannya, dia bukan perempuan yang gampang takut. Suasana di kuburan ini begitu tenang, hening dan keramat. Beberapa nisan yang retak dan berlumut, seolah menganga mencari mata Lindia. Lindia balik menatap, mencari wajah di nisan. Terkadang matanya menemukan foto ukuran 10R yang buram, wajah-wajah kenangan.
Seolah lelah mencari perhatian, laki-laki dengan bibir tebal mencibir itu menoleh kepadanya. “Papaku, papaku yang semasa hidupnya kaya raya, yang mati kecelakaan, seandainya masih hidup…aku akan lebih kaya lagi.”
Lindia hanya bisa meludah di dalam hatinya sendiri. Dia merasa semakin jijik dan mengutuki semua kebodohannya. Mengapa harus berada di sini bersama laki-laki ini.
Laki-laki itu memperbaiki letak rangkaian bunga segar yang dibawanya dari kota. “Pa, doakan aku sukses, doakan aku kaya pa…uangku habis. Pa kenapa begitu cepat papa pergi pa, kenapa pa…”
Lindia berusaha mencerna apa yang didengarnya, benar-benar laki-laki tanpa harga…memalukan.
“Lindia, aku akan berdoa, beri aku waktu hening sebentar.” Laki-laki itu kembali menoleh ke arah Lindia, yang berdiri sekitar 10 langkah dari nisan yang ditangisinya.
Lindia tidak mengangguk tapi berjalan menjauh. Laki-laki itu masih sempat melihat langkah kaki Lindia yang tegas menjauh, sebelum menutup kelopak mata jahatnya.
“Papaaaaa…” Raungnya lagi dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan. “Umurku masih sebelas tahun ketika papa mati kecelakaan, tapi aku bisa pa melewati semuanya. Pa, aku punya kerjaan punya uang. Tapi seandainya papa ada, pasti aku tidak harus begini, pasti lebih enak pa hidupku ini. Pa aku butuh biaya banyak pa, mau buka usaha,…”
Lindia mendengar samar-samar raungan itu, perutnya yang bergejolak ingin muntah ditahannya. Lindia mencapai pinggiran kuburan, dan bergegas melewati gerbang kuburan. Mobil laki-laki itu terparkir gagah di hamparan tanah kosong. Lindia kemudian merogoh sesuatu di dalam tas salempangnya.
Cepat-cepat Lindia berlari ke pinggiran jalan aspal, dan terus berlari ke arah kota, menyeberang jalan menuju pompa bensin. Di sana banyak supir-supir transport yang menyewakan mobil sekaligus jasa supir.
Lindia memilih mobil yang paling mulus dengan supir yang terlihat sopan.
“Where are you going?” tanyanya ketika Lindia sudah berada di dalam mobil.
“Antarkan ke airport Pak.”
“Oh, lokal? Orang Indonesia?”
Lindia tertawa terbahak-bahak, tanpa bisa ditahannya lagi, air matanya menetes.
Supir transport agak heran, apa yang lucu? Tapi kemudian dia juga ikut tertawa terbahak-bahak, sambil menjalankan mobilnya. “Memang banyak turis lokal maupun luar yang gila akhir-akhir ini.” batinnya ikut tergelak.
“Pak, aku minta topimu.” Lindia meminta dengan tegas.
“Ooh? Okay, baiklah.” Supir transport membuka topi kusamnya, menyodorkan ke belakang, sekalian mencuri pandang, ingin mengamati baik-baik wajah Lindia. Cantik…tapi kejam.
Lindia menggulung rambutnya ke atas, menutupinya dengan topi butut berbau minyak rambut kemiri . Lindia kemudian meraih jaket tipis yang tidak kalah bututnya yang tersampir di sandaran kursi samping supir. “Ini juga.”
Supir transport pasrah saja, hilang pun dia tak peduli. Gadis ini terlihat cerdas, terawat dan yang pasti, punya uang. Topi dan jaket bututnya pasti akan dibayar dengan uang yang lebih dari cukup untuk membeli yang baru.
Tapi tunggu…begitu aneh. Ada apa dengan gadis ini?
“Nona, lari dari siapa?”
Hening…
“Aku lari dari laki-laki yang meminta kekayaan dari kuburan.”
“Eh?”
“Sebenarnya dia meminta dari yang hidup. Dia tahu aku memiliki sejumlah uang, tapi pura-pura menangisi hidupnya di kuburan ayahnya, supaya aku menjadi kasihan.”
“Ah? Ada juga laki-laki kayak begitu Non?”
“Ada, banyak…”
“Kok ndak kerja aja Non? Aku sampai subuh di jalan…demi anak istri.”
Lindia menyeringai, akhirnya kembali mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
Jauh di belakang…laki-laki itu melolong, kali ini bagaikan serigala dewasa. Melengking pecah, tidak dibuat-buat.
Ada goresan dari lipstik merah membara yang tajam dan besar di kaca depan mobil hitam mulusnya. Miring-miring dan kasar. Hiasan yang kejam…serigala matre’.
Caroline Wong