Seperti berkali-kali saya angkat di sini, kasus ASABRI adalah kasus yang butuh kejernihan nurani dalam menilainya. Hal ini tidak saja karena tuduhan korupsi yang didakwakan kepada sejumlah tersangka pelaku mulai dari direksi maupun pihak swasta didasarkan pada potential loss, tapi juga sejumlah indikasi yang perlihatkan jaksa sedikit nakal.
Hal ini tentunya mengkhianati prinsip penegakan hukum itu sendiri. Saya berani berkata demikian karena jadinya atas nama hukum para penegak hukum bisa karena abuse of power berani mempermainkan nasib para terdakwa.
Di sini, saya tak bermaksud hendak membela para koruptor. Yang namanya korupsi itu extra ordinary crime. Kepada para pelaku wajib hukumnya diberi hukuman yang semaksimal mungkin.
Namun, pemberian hukuman yang maksimal itu tidak bisa pula serampangan untuk diberikan. Yang namanya demi hukum maka atas dasar hukum pula harusnya terdakwa diadili, bukan karena agenda kepentingan sejumlah pihak.
Maksudnya bahwa atas nama memerangi korupsi, para ujung tombak penegakan hukum tak bisa asal “nembak”. Pertama, harus bisa dibuktikan dulu secara hukum bahwa para terdakwa benar melakukan korupsi seperti yang dituduhkan.
Kedua, jika pun terbukti, pasal mana yang dilanggar terdakwa dan syarat apa yang mesti dipenuhi penegak hukum dalam menindak terdakwa mesti sama-sama ditunjukkan secara benar. Tak bisa terdakwa dituduh begitu saja tanpa bukti sahih telah melakukan korupsi. Di sisi lain, menindak terdakwa yang berhasil dibuktikan pelanggarannya di muka hukum mesti mengindahkan amanat perangkat hukum yang berlaku juga.
Bagaimana ASABRI Berjalan
Sejauh sidang ASABRI digelar, amatan saya menunjukkan bahwa gelaran sidang ini diwarnai oleh tuduhan yang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan korupsi. ASABRI mungkin memang sedang alami kerugian, namun harap diingat bahwa ASABRI adalah perusahaan yang saham-sahamnya diperjualbelikan. Yang namanya saham, itu fluktuatif nilainya di pasaran.
Saat musim baik berhembus, nilai sahamnya bisa berlipat kali naiknya. Di situ perusahaan tentunya menangguk untung. Namun, saat musim berhembus sebaliknya, sebaliknya pula yang dialami perusahaan. Maka, bila lagi merugi, tidak bisa serta-merta disimpulkan telah terjadi praktek korupsi di dalamnya.
Sampai sejauh ini digelar, sidang ASABRI belum menunjukkan bukti telah adanya korupsi dilakukan terdakwa. Entah kalau amatan saya yang bukan praktisi hukum ini keliru.
Yang aneh adalah dari sekian terdakwa, ada yang dituntut dengan hukuman mati yakni Heru Hidayat. Disebut aneh karena UU Tipikor mengamanatkan bahwa hukuman mati kepada terdakwa baru bisa didituntutkan apabila terpenuhinya sejumlah syarat sebagai berikut:
- Saat korupsi itu dilakukan, negara kita sedang alami bencana alam nasional.
- Saat korupsi dilakukan, negara kita sedang alami krisis moneter
- dan yang ketiga, pelaku melakukan korupsi setelah sebelumnya pernah dipenjara untuk tindakan korupsi yang sama
Silakan tengok bunyi amanat UU tersebut pada Pasal 2 UU Tipikor kita!
Nah, dari syarat-syarat di atas, apa yang dijadikan dasar untuk menutnut Heru Hidayat dengan hukuman mati jelas tidak tepat karena syarat-syarat itu tak terbukti.
Selasa, 18 Januari 2022 besok nasibnya akan ditentukan oleh hakim. Apakah hakim akan benar mengikuti tuntutan para jaksa atau menganulirnya demi hukum, kita semua akan saksikan. Yang jelas, apabila hakim benar-benar akan menjatuhkan vonis hukuman mati kepada bersangkutan, itu artinya peradilan kita bermasalah besar.
Sebab, kasus ini akan jadi preseden ke depannya di mana seseorang bisa diadili secara semena-mena tanpa perlu mengindahkan amanat UU. Padahal, alasan kita bernegara adalah agar hak-hak masing-masing orang dapat dijamin keterpenuhannya termasuk keadilan di muka hukum.
Heru Hidayat jika divonis hukuman mati berarti haknya untuk mendapat peradilan yang adil tidak terpenuhi sebab nyata dalam dirinya tak terpenuhi syarat-syarat yang diminta Pasal 2 UU Tipikor.
Mari berharap bahwa para hakim terutama Mulyono tetap teguh dengan keyakinannya memihak nurani agar keadilan bisa benar-benar ditegakkan untuk terdakwa Heru Hidayat. Selain aliran dana korupsi yang tak berhasil dibuktikan jaksa, syarat-syarat untuknya dijatuhi hukuman mati juga tak terbukti. Hakim sudah semestinya bertindak atas nama nurani dalam memutuskan vonis untuknya atau kita akan punya contoh buruk peradilan tipikor ke depannya.
Memerangi korupsi tidaklah berarti bisa tanpa mengindahkan amanat UU. Untuk apa kita bernegara jika bertindak bisa tanpa dasar hukum untuk memberikan sanksi kepada pelanggar hukum? Ini harus dicermati betul!