Hari ini, tagar #SMIBukaBukaan sedang jadi trending di twitter. Netizen ramai ramai meminta agar Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI berbicara menjelaskan terkait kasus status tersangkanya Syamsul Nursalim (SN) dalam kasus BLBI oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Misalnya isi twitnya @ab_setyono: butuh penegasan dr bu @KemenkeuRI cq pemerintah soal blbi ini #SMIBukaBukaanBLBI
Ada Peran Sri Mulyani dalam Pusaran Kasus BLBI dan Sjamsul Nursalim https://t.co/DHou0inKD0 via @infoblbicom
Netizen mempermasalahkan kalau keputusan KPK tersebut mempertontonkan ketidakpastian hukum di negeri ini. Diantaranya mengutip pernyataan Prof. Mahfud yang dikutip oleh twitnya @saidiman: Sudah lama tidak dengar soal kasus BLBI, sekarang ramai lagi. Kenapa?Sampai TT #SMIBukaBukaanBLBI. Saya dulu menduga, kasus ini lebih banyak unsur politiknya dibanding persoalan hukumnya. Pandangan Pak Mahfud ini menarik. https://t.co/N25cT1eiRY
Kenapa SMI harus blak blakan?
SMI terlibat dalam kemelut BLBI karena ia merupakan Menteri Keuangan tahun 2007 yang menjual aset Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik SN seharga hanya Rp 220 miliar. Aset BDNI ini merupakan alat pembayaran SN untuk melunasi kewajibannya berdasarkan MSAA yang closing tahun 1999. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menaksir nilainya dan telah setuju bahwa di tahun 2004, aset BDNI masih bernilai Rp 4,5 triliun. Penurunan nilai aset yang drastic inilah yang kemudian membuat SN dianggap kurang bayar.
Ibarat efek domino, kisruh antara SN dan KPK tidak akan terjadi seandainya SMI tidak mengobral murah aset BDNI.
Kejanggalan ini juga disampaikan oleh Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri, Rizal Ramli, saat menjadi saksi untuk Mantan Kepala BPPB Syafrudding Temenggung di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tahun lalu.
Dalam keterangannya, Rizal menyebut bahwa pada tahun 2005, nilai aset BDNI yang dilaporkan ke BPPN adalah sebesar RP 4,5 triliun. “Sampai saya berakhir masa jabatannya dan diganti Pak Dorodjatun (Kuntjorojakti) sebagai Menko (Ekonomi) dan Pak Ary Suta sebagai ketua BPPN, lalu digantikan Pak Syafruddin Arsyad Temenggung. Memang ada kerugian negara, tapi saat BPPN menyerahkan ke Menteri Keuangan akhir tahun 2005, nilainya aset BPPN Rp 4,5 triliun. Aneh bin ajaib, pada 2007 dijual Rp 200 miliar oleh Menkeu Sri Mulyani saat itu,” ujar Rizal pada Kamis (5/7/2018).
Terakhir kali pemerintah menegaskan perkara ini pada tahun 2008 ketika Menko Perekonomian Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan penyelesaian BLBI di depan rapat dengar pendapat (RDP) di DPR.
Sekarang ini Pemerintah seolah menutup mata bahwa nasib seorang investor selalu menjadi pertaruhan dalam kemelut BLBI yang dibuat pemerintah di masa lalu. Ketidaktegasan pemerintah ini mungkin saja terjadi akibat risiko berhadap-hadapan dengan KPK sebab KPK kadung mendapat tempat yang istimewa di hati rakyat.
Padahal, justru karena pemerintah tidak tegas membuat penegakan hukum dilanda ketidakpastian. Dampak lebih lanjut tentu saja keraguan para investor untuk berani menanam modal di negeri ini. Kasus yang nyata-nyata berkekuatan hukum saja masih bisa diuber-uber KPK lalu di situasi demikian pemerintah malah terkesan terkesan cuci tangan.
Keraguan pemilik modal untuk berani berinvestasi pada gilirannya membawa dampak serius bagi iklim usaha di tanah air. Lapangan kerja jadi sangat terbatas, angka pengangguran meninggi, kriminalitas juga bisa saja ikutan merebak. Yang sengsara tetap saja rakyat kebanyakan.
Karena itu, sangatlah naif apabila di tengah gencarnya semangat mendorong rakyat ke era Indonesia Maju, pemerintah sendiri terkesan tidak menjamin langkah pasti. Apalagi, menteri keuangan yang tahu betul seluk-beluk kasus BLBI ini adalah orang yang sama yakni yang menjadi Menteri Keuangan pada 2007 yang sekarang juga menjabat pos menteri yang sama yakni SMI.
SMI jelas ada dalam kemelut ini. Dialah yang menjual aset BDNI milik Sjamsu Nursalim pada 2007 secara drastis padahal saat kesepakatan dengan pemerintah dibuat pada 1999 disebutkan bahwa nilai asset BDNI yang 4,5 trilyun rupiah saat itu akan tetap bernilai sama pada 2004. Tak ada angin, tak ada hujan, pada 2007 SMI menjual asset BDNI dengan nilai 220 milyar. Ada ketidakwajaran di sana, bahkan Rizal Ramli pun ikut heran dengan hal tersebut. Namun, rupanya penurunan nilai asset inilah yang membuat SN dianggap kurang bayar.
Karena itu, SMI sebetulnya punya kewajiban moral menengahi kemelut BLBI ini di tengah kebingungan publik dalam menyimak perang opini antara KPK dengan pihak SN. Selain itu, keterangan dari SMI pun bisa dianggap sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap investor. Dengan demikian keraguan para calon investor pun sirna yang pada gilirannya menyehatkan iklim investasi di tanah air. Cita-cita Indonesia Maju pun bisa segera terealisasi karena rakyat tidak menemui kendala serius dalam mencari kerja.
Tapi, berkenankah SMI keluar dari sikap diamnya? Terketukkah nuraninya menengahi kasus ini? Yang jelas kepastian hukum di negeri ini ditentukan oleh kebesaran jiwa para pemangku kepentingan dalam mengatasi kemelut. Inilah sebenarnya yang diramaikan di twitter hari dengan hestek #SMIBukaBukaanBLBI. (*)