Nagara Institute mengundang calon Wakil Wali Kota Tangerang Selatan, Rahayu Saraswati, dalam webinar mereka yang bertajuk “Agenda Politik Politisi Perempuan Sebagai Calon Bupati/Walikota pada Pilkada 2020”.
Webinar kali ini juga menghadirkan tokoh lain seperti Cellica Nurrachadiana (Bupati Karawang), Puput Tantriana (Bupati Probolinggo), Eva Kusuma Sundari (Sarinah Institute), dan juga Dedi Miing Gumelar (Seniman dan Mantan Anggota DPR RI).
Pada webinar tersebut pembahasan seputar permasalahan atau pro-kontra perempuan yang terjun ke ranah politik cukup menarik dilihat dari banyaknya perdebatan di kolom komentar chat acara tersebut.
“Menarik sekali ya, saya mendengarkan penjelasan serta tanggapan dari penanggap lain. Saya merasa seperti yoyo. Di satu sisi saya merasa itu sesuai dengan fakta yang kita ketahui saat ini, lalu di sisi lain sepertinya diskusi ini mulai memanas.” tutur Saraswati.
Menurut Saraswati, perempuan yang terjun ke dunia politik haruslah memiliki kulit yang tebal dan juga kuping yang ditutupi kapas untuk menghadapi cacian. “Bukan menutup diri kita pada kritikan, tetapi lebih kepada cacian. Itu memang realitanya.” imbuhnya.
Dedi Miing Gumelar menyampaikan bahwa perempuan boleh terjun ke dunia politik asalkan tidak melupakan tugasnya di rumah (memposisikan kodrat perempuan di ranah domestik bukan biologis -Red), bahkan kuota keterwakilan perempuan di DPR yang 30% pun tidak terisi penuh.
Menanggapi hal tersebut Saraswati mengatakan bahwa kita harus menyamakan dulu perspektif perihal apa yang disebut dengan kodrat.
“Kodrat itu ada yang melihatnya dari segi budaya, namun ada pula yang melihatnya dari segi gender. Kodrat bukan sebuah halangan bagi perempuan dipenuhi hak-hak kita untuk ikut berkontribusi di dunia politik.” jelas Saraswati.
Sedangkan perihal jumlah keterwakilan perempuan di DPR, Saraswati mengatakan ada kenaikan jumlah keterwakilan perempuan di DPR yang tadinya 17% di tahun 2014, saat ini menjadi 20-an%.
“Hal tersebut pun tetap harus didata. Berapa banyak perempuan dari 20% itu yang punya perspektif gender? Mengerti kah dia dengan permasalahan-permasalahan yang dialami oleh perempuan? Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan perempuan yang maju ke dunia politik mendapatkan tiga tantangan yaitu budaya patriarki, ekonomi atau finansial, dan dari sitem politiknya itu sendiri.
“Jadi jika kita bicara soal mengapa sulit sekali perempuan untuk memenuhi kuota 30% tersebut, kita lihat dari segi budaya dan finansial. Bukan sesederhana kemauan perempuan untuk terjun ke dunia politik atau tidak, namun lebih kepada kemapuan finansial dan juga budayanya yang tidak memberikan izin untuk perempuan maju ke dunia politik. Jadi ini sangat berlapis-lapis dan harus dilihat dari berbagai macam sisi. Belum lagi sistem politik kita yang sangat pro-money politic” pungkas Saraswati.
Simak diskusi “Agenda Politik Politisi Perempuan Sebagai Calon Bupati/Walikota pada Pilkada 2020” selengkapnya di sini.