Oleh: Rudy Siswanto
Kasus Jiwasraya, tepatnya kasus kerugian Asuransi Jiwasraya, sebuah perusahaan asuransi BUMN (pesero), telah menjadi buah bibir masyarakat Indonesia saat ini.
Agar kita dapat mengerti permasalahan secara lengkap, saya ingin mengajak teman-teman pembaca untuk merunut peristiwa ini dari awal, sehingga kita tidak terjebak oleh framing yang berusaha dibentuk oleh institusi negara yang dicurigai digunakan untuk menyelamatkan “orang besar” yang sebenarnya merupakan tokoh utama penggerogot keuangan Jiwasraya.
Karena panjangnya cerita Jiwasraya , saya akan membagi tulisan ini menjadi tiga bagian .
Ini adalah bagian yang pertama. Chek it out.
PT Asuransi Jiwasraya adalah Badan Usaha Milik Negara Indonesia yang bergerak pada sektor asuransi.
Jiwasraya dibangun dari sejarah panjang. Bermula dari NILLMIJ, Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente Maatschappij van 1859, tanggal 31 Desember 1859. Perusahaan asuransi jiwa yang pertama kali ada di Indonesia (Hindia Belanda waktu itu) didirikan dengan akta Notaris William Hendry Herklots Nomor 185.
Pada tahun 1957 perusahaan asuransi jiwa milik Belanda yang ada di Indonesia dinasionalisasi sejalan dengan program nasionalisasi perekonomian Indonesia. Tanggal 17 Desember 1960 NILLMIJ van 1859 dinasionalisasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 1958 dengan mengubah namanya menjadi PT Perusahaan Pertanggungan Djiwa Sedjahtera.
Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 214 tahun 1961, tanggal 1 Januari 1961, 9 (sembilan) perusahaan asuransi jiwa milik Belanda dengan inti NILLMIJ van 1859 dilebur menjadi Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Eka Sedjahtera.
4 (empat) tahun kemudian tepatnya tanggal 1 Januari 1965 berdasarkan Keputusan Menteri PPP Nomor BAPN 1-3-24, nama Perusahaan negara Asuransi Djiwa Eka Sedjahtera diubah menjadi Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Djasa Sedjahtera.
Setahun kemudian tepatnya tanggal 1 Januari 1966, berdasarkan PP No.40 tahun 1965 didirikan Perusahaan Negara yang baru bernama Perusahaan Negara Asuransi Djiwasraja yang merupakan peleburan dari Perusahaan negara Asuransi Djiwa Sedjahtera.
Berdasarkan SK Menteri Urusan Perasuransian Nomor 2/SK/66 tanggal 1 Januari 1966, PT Pertanggungan Djiwa Dharma Nasional dikuasai oleh Pemerintah dan diintegrasikan kedalam Perusahaan Negara Asuransi Djiwasraja.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1972, tanggal 23 Maret 1973 dengan Akta Notaris Mohamad Ali Nomor 12 tahun 1973, Perusahaan Negara Asuransi Djiwasraya berubah status menajdi Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Jiwasraya yang Anggaran Dasarnya kemudian diubah dan ditambah dengan Akta Notaris Sri Rahayu Nomor 839 tahun 1984 Tambahan Berita Negara Nomor 67 tanggal 21 Agustus 1984 menjadi PT Asuransi Jiwasraya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995, diubah dan ditambah terakhir dengan Akta Notaris Imas Fatimah SH, Nomor 10 tanggal 12 Mei 1988 dan akta Perbaikan Nomor 19 tanggal 8 September 1998 yang telah diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Nomor 1671 tanggal 16 Maret 2000 dan akta Perubahan Notaris Sri Rahayu H.Prasetyo,Sh, Nomor 03 tanggal 14 Juli 2003 menjadi PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Anggaran Dasar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Akta Notaris Netty Maria Machdar, SH. Nomor 74 tanggal 18 Nopember 2009 sebagaimana surat Penerimaan Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-AH.01.10.01078 tanggal 15 Januari 2010, dan Akta Nomor 155 tanggal 29 Agustus 2008 yang telah mendapatkan persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sesuai Surat Keputusan Nomor AHU-96890.AH.01.02 tahun 2008 tanggal 16 Desember 2008
Dalam perjalanan panjangnya, pada tahun 2002, PT Asuransi jiwasraya sudah mengalami kesulitan .
Pada tahun 2004-2006, sebagaimana diungkapkan oleh investigasi majalah Tempo, Bakrie Grup melakukan Repo (Repurchase Agreement) atau dalam bahasa awam adalah gadai saham, kepada PT.Asuransi Jiwasraya senilai lebih dari 3 trilliun rupiah!!
Repurchase Agreement (REPO) adalah transaksi penjualan instrument efek antara dua pihak yang diikuti dengan perjanjian dimana pada tanggal yang telah ditentukan akan dilaksanakan pembelian kembali atas efek yang sama dengan harga tertentu yang telah disepakati.
Mungkin ada teman-teman yang bertanya, kok Jiwasraya mau ?
Satu hal yang menurut saya tidak bisa dikesampingkan adakah pada 2004 Aburizal Bakrie adalah Menteri Koordinator Perekonomian pada kabinet bersatu pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
Pada tahun 2006 kesulitan yang dialami oleh PT Asuransi Jiwasraya semakin bertambah.
Pada periode 2006-2008, otoritas sudah mengetahui masalah di Jiwasraya. Saat itu, Asuransi Jiwasraya sudah defisit sebesar Rp3,29 triliun per 31 Desember 2006.
Laporan menyebutkan penyebab defisit Jiwasraya adalah aset perusahaan tersebut yang jauh lebih rendah dibandingkan kewajiban utang atau istilahnya insolvent. Pada akhir 2008, defisit Jiwasraya meningkat menjadi Rp5,7 triliun.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Jiwasraya pada 2006 dan 2007 melaporkan pendapat disclaimer. Artinya, kinerja keuangan Jiwasraya tak dapat diandalkan untuk mendukung manfaat polis.
Sebagai tambahan, sampai sekarang Bakrie belum melakukan penebusan saham yang digadaikan.
Pada saat dilakukan Repo (2004), nilai saham Bakrie dan beberapa anak usahanya masih sangatlah tinggi .
Sekarang nilai saham mereka tinggal Rp. 50,- sehingga banyak orang menyebut sebagai saham gocapan.
Sampai disini cerita Prahara Jiwasraya bagian yang pertama .
Bagaimana menurut teman-teman?
Tulis di kolom komentar ya .
Salam sehat, Roedy S Widodo.
Sumber :
https://insight.kontan.co.id/news/tahun-2008-jiwasraya-sempat-meminta-suntikan-modal-rp-6-triliun
https://id.wikipedia.org/wiki/Asuransi_Jiwasraya
https://www.cnbcindonesia.com/market/20191228185156-17-126264/bobrok-dari-2004-ini-kronologi-jiwasraya-hingga-