Oleh: Ferdinand Kabelen*)
Kualitas oposisi sekarang memang memrihatinkan. Bayangkan saja bagaimana mereka memenangkan pilkada DKI dan sukses mengandangkan seorang Ahok hanya dengan bersenjatakan mulut yang terus memuntahkan fitnah dan hasutan. Mereka memunculkan pernyataan kemudian menariknya kembali, atau bahkan sering dibiarkan tanpa gelar klarifikasi.
Atau kalau pun membuat klarifikasi, sukanya pakai sedikit trik pengelakan sederhana. Ini konsisten secara terus menerus dan berulang mereka lakukan, memberi kesan seolah mereka yakin bahwa masyarakat pasti mengamini argumentasi konyol mereka. Bahkan tidak segan mereka melontarkan ancaman dan hasutan yang mematikan langkah dan akal sehat. Alhasil…. sebagian besar masyarakat DKI pun terkibuli. Ya, mereka sukses secara gilang gemilang pada pilkada DKI.

Mereka, kini secara nasional memraktekkan itu. Kelompok oposisi tidak peduli apakah sebuah pernyataan itu ada dan sesuai data atau tidak. Mereka juga ogah berpikir tentang konsekuensi hukum yang bisa saja timbul akibat pernyataan mereka, apalagi sekedar mempertimbangkan nilai etis. Rasanya hanya wasting time buat mereka. Lagi pula itu pun menjadi jurus jebakan untuk menjerat celah baru pada kubu Jokowi dan pendukungnya. Semuanya begitu apik dan rapi. Sangat nampak ini disengaja dan direncanakan dengan matang.
Sebenarnya, mereka tahu tapi sengaja tidak mau tahu. Yang terpenting adalah mengintai sedikit celah dan langsung membuat pernyataan lalu meluberinya dengan bumbu lezat yang sebenarnya over dosis. Target mereka jelas dan pasti, yakni mencekok, menginstal sebanyak mungkin informasi negatif agar nanti masyarakat mudah dibelokkan, digerakkan, dan akhirnya terpakai.
Sebenarnya, kita sadar bahwa mereka sangat dekat dengan kelompok radikal bahkan secara terang benderang bersekutu. Ironisnya kita tahu tetapi juga tidak menyadari bahwa mereka sesungguhnya sedang memainkan strategi dan metode ala terorisme, yakni brainwash. Inilah yang sedang mereka lakukan. Dan bukan tidak mungkin ini juga yang dimaksudkan Ahok ketika dia mengatakan, “Saya sudah hafal semua”.
Indikator terbaik dari analisa ini adalah maraknya berita hoax dan juga hasutan golput di berbagai media sosial. Mereka dengan lihai memanfaatkan semua media sosial untuk dijadikan corong propaganda, dan pelantang brainwash. Dan ini tak pernah jera dimainkan oleh pasukan cyber army dalam segala bentuk karena sejatinya mereka adalah ujung tombak brainwash project.
Kita harus tahu bahwa proses brainwash ala teroris tidak pernah dilakukan secara instan. Teroris sangat paham siapa yg harus direkrut, yakni mereka yang isi kepala dan hatinya sudah dicekoki ajaran kebencian dan permusuhan. Mereka tinggal memanfaatkan kondisi itu untuk mem-brainwash pengikutnya dengan sedikit bumbu iming-iming kenikmatan seksual 72 bidadari di surga. Dan pada titik ini orang siap melakukan apa saja sesuai misi sang teroris. Demikian, pola ini yang sedang dipakai.
Rupanya mereka sangat paham kalau masyarakat kita umumnya sangat gemar dan tertarik dengan informasi dan hal yang berbau negatif. Semua pernyataan mereka nampak seperti sebuah upaya untuk mengganti image dan alam pikir positif dengan informasi negatif tentang Jokowi dan pemerintahannya.
Keyakinan mereka, jika otak masyarakat sudah terbiasa mengonsumsi informasi negatif maka akan mudah untuk di-brainwash. Segala data dan logika masyarakat yang paling sahih sekalipun tak berguna jika yang ada dalam isi otak hanyalah hal yang negatif. Dan ini telah berhasil mereka lakukan di pilkada DKI.
Mereka hanya menunggu momen yang tepat untuk menggerakkan pikiran masyarakat yg ter-brainwash dengan hasutan yang paling mematikan pilihan pada Jokowi.
Perhatikan saja bagaimana politik transaksional yang mencuat lewat mahar politik Sandi. Mereka yang meniup, mereka juga yang mengipasnya dan kemudian mereka juga yang memberi klarifikasi dengan sangat meyakinkan bahwa itu tidak pernah ada. Tapi ekses yang timbul dalam hitungan jam adalah, seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke langsung mengarahkan perhatian ke Sandi, dan akhirnya Sandi hidup dalam pikiran dan bibir setiap orang, sebagimana Prabowo. Akhirnya Sandi dikenal sebagai figur pengusaha sukses, santri posmo, pangeran millenial. Cerdas, bukan? Pada tahapan inilah proses brainwash sedang berjalan, yakni mencitrakan Prabowo dan Sandi sebagai figur pemimpin ideal, problem solver bagi setiap isu kemelut (terutama ekonomi) bangsa ini yang sebelumnya sudah terus mereka lontarkan.
Oleh karena itu, kita pendukung Jokowi tidak bisa hanya melawan dengan narasi-narasi konvensional. Ataupun hanya terperangkap pada narasi formal berisi data dan berbagai argumen rumit yang sulit dipahami masyarakat. Sudah saatnya sasaran pesan kita langsung mengarah ke croc brain masyarakat. Isu yang dilempar harus memiliki ekses yang lebih masif dan signifikan.
Jika tidak ingin mengatakan terlambat, maka inilah waktunya bagi kita untuk memodifikasi strategi yang lebih responsif dan kompetitif. Menghadirkan narasi yang dikemas sedikit lebih menarik dan berbeda agar mudah dikonsumsi masyarakat adalah urgentisitas relawan pendukung Jokowi. Idealnya, masyarakat tidak boleh terlalu lama terpapar potensi bahaya penyesatan dan black campaign. Sebelum semuanya ter-brainwash, saatnya kita memberi arti pada pernyataan Ahok bahwa “Kita sudah hafal semua”.
______
*)Ferdinand Kabelen, penulis lepas