Kuamati gerak bibirnya, bahkan sampai berkali-kali saking tak percaya. Tapi hasilnya tetap sama. Gerak-gerik bibirnya persis mengucapkan untaian kata-kata yang menyapa gendang telinga saya. Fixed, ini bukan editan. Ini beneran.
Keyakinan yang menjebak. Kepercayaan yang seketika melumpuhkan ritual rutin saya selama ini dalam mengamati dan menilai sesuatu yang terhampar pada gadget hasil unggahan atau share para teman di kontak. Dan ya, saya harus akui kalau kali ini saya merasa terjebak oleh perasaan.
Bagaimana tidak? Saya yang biasanya croscheck sesuatu terlebih dahulu sebelum saya share ke publik, kali ini dengan amat sangat gegabahnya saya menuliskan sebaris kalimat penghakiman untuk yang terhormat, Merry Riana, motivator kondang salah satu kebanggaan Indonesia.
Secara sembrono, saya menuliskan, “Merry Riana, Motivator Dungu” di facebook saya. Gampang ditebak, postinganku ini seketika ramai dikomentari. Ada yang bernada bingung, ada yang ikut mencela namun tidak sedikit pula yang membela. Bah!
Saya kecolongan sudah pasti. Iya, kecolongan akan mawasnya diri sebelum melontarkan hunjaman kata-kata yang kalau dibaca oleh Merry sendiri bakal sangat menyakitkan.
Yang terjadi adalah sayalah yang dungu. Kedunguan saya ialah kealpaan saya melakukan crosscheck seperti biasa kulakukan sebelum mengunggah sesuatu sebagai bahan konsumsi publik. Ini fatal. Bisa berujung bui apabila Merry mau. Saya juga akan dengan ksatria mengakui kalau yang saya lakukan adalah sebuah kekeliruan yang menimbulkan akibat tidak menyenangkan pada korban. Maka, melalui ini, sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Sdr. Merry Riana.
Faktanya, video itu ternyata punya gandengannya. Pasangannya adalah video yang berisikan pembalikan terhadap narasi pesimis pada video yang pertama, video yang sudah kupakai sebagai bahan menghakimi Merry.
Konyol sekali yang saya lakukan, bukan? Merasa sudah jadi dungu pun seketika menyergap diri saya. Malu sudah pasti. Godaan untuk berlaku sebagai pengecut pun seketika menghinggap: hapus cepat-cepat.
Namun, tidak! Saya tidak ingin menghinakan diri lebih rendah. Salah ya akui saja salah, ngapain kudu hapus hanya supaya terlihat baik? Saya manusia, bukan malaikat. Keliru dan keseleo jari apa lidah dalam menuangkan kata-kata adalah sesuatu yang amat wajar terjadi. Jadi, kenapa mesti memaksakan diri terlihat sebagai malaikat suci jika faktanya saya masih manusia tempatnya keliru dan khilaf biasa terjadi?
Juga, tadinya saya bertekad untuk menghapus postingan tersebut. Namun, demi kontekstualnya artikel yang kini lagi di tangan Anda, saya memilih tidak menghapusnya. Entahlah nanti setelah artikel ini kuyakin telah dibaca orang. Syukur kalau Merry sendiri ikutan membacanya. And I beg her pardon for the hate speech I’ve done.
Hatespeech dan Literasi Publik yang Terabaikan
Nah, sahabat semuanya…, apa yang baru saja saya lakukan seakan menambah panjang bukti bahwa bangsa ini sedang sakit. Setidaknya saya yang terbiasa menulis hal-hal yang rasional, faktual dan valid saja bisa keseleo jari. Jadi, taruhlah benar bahwa kita memang lagi sakit. Tapi sakitnya itu apa?
Sakit yang kita derita adalah “syndrome reaksi spontan”. Namakan saja begitu. Ini terjadi karena emosi kita biarkan mendominasi diri ketimbang nalar kritis untuk waras bertutur. Alhasil dampaknya pun akan ada pihak yang tersakiti. Yang terjadi pada saya memang begitu adanya.
Saya baru saja bangun tidur, (maklum masih liburan, waktu tidur saya suka-suka) tatkala dishare video yang saya masalahkan tersebut oleh seorang teman di WAG. Emosi terbakar akibat narasi pesimistik yang dibangunkan Merry di videonya tersebut amat melecehkan keyakinan saya tentang bangsa kita saat ini dan ke depannya demi melihat gebrakan-gebrakan kemajuan yang diorkestrasikan Jokowi dengan segenap paduan tenaga handal kabinet kerjanya lima tahun terakhir ini.
Tanpa pikir panjang, langsung saya statuskan di FB saya (cekidot sini yah bro sist). Belakangan ternyata itu cuma salah satu bagian dari keseluruhan narasi yang dibuat Merry. Yang dungu ternyata saya, bukan Merry.
Amatan saya, emosi suka mudah memengaruhi kita dalam menanggapi sesuatu terjadi karena kita tidak terbiasakan berliterasi. Literasi adalah kemampuan melek aksara (bisa baca tulis) yang disertai dengan kemampuan memahami konteks sebuah perkataan dalam sebuah tulisan atau gambar (menurut Merriam – Webster online). Kebanyakan dari kita hanya sampai pada taraf bisa baca tulis, lalu seakan sudah cukup untuk segalanya. Padahal dalam memahami sesuatu perkataan (termasuk yang tertulis atau tertayang tentunya), mensyaratkan penyelidikan saksama terlebih dahulu sebelum tiba pada kesimpulan akhir yang benar.
Mari kita bicara fakta! Kebanyakan dari kita itu suka baca setengah-setengah kalau tak cuma judul sebuah berita/info/tulisan. Demikian pun saat menyimak sebuah tayangan video. Kita cuma simak awalnya saja, lalu seketika prematur berkesimpulan. Kalau kali ini saya yang berlaku demikian, bukan tidak mungkin besok atau lusa atau malah sudah kemarin-kemarin anda melakukannya. Itu semua terjadi akibat kita melalaikan satu hal yang amat vital untuk menuju kebenaran hakiki: literasi.
Dengan demikian, biar kita tidak akan lakukan lagi hal-hal konyol, literasi publik perlu kiranya dibudayakan. Kepada siapa kita menuntas harap? Negara?
Huh! Jangan sekali-kali cuma berharap pada negara sebab negara terbentuk dari kita-kita ini juga. Jadi, janganlah sekali-kalipun gantungkan harapan untuk kebutuhan itu pada negara, apalagi pada mantan!
Ceile….!