• Redaksi
  • Info Iklan
  • Kirim Tulisan
  • Daftar
Thursday, August 11, 2022
  • Login
No Result
View All Result
NEWSLETTER
narasikita.com
  • Home
  • Politik
  • Sejarah
  • Internasional
  • Celoteh netizen
  • Cerpen
  • Hiburan
  • Home
  • Politik
  • Sejarah
  • Internasional
  • Celoteh netizen
  • Cerpen
  • Hiburan
No Result
View All Result
narasikita.com
No Result
View All Result

Merry Riana, Motivator yang “Gagal Dungu”

Keahlian menata kata itu rupanya seni yang bisa membunuh juga. Tak percaya? Nih, simak!

oleh Aven Jaman
10/06/2019
di Sosial
0
Merry Riana, Motivator yang “Gagal Dungu”

Status FB saya yang memalukan itu

123
SHARES
1
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Kuamati gerak bibirnya, bahkan sampai berkali-kali saking tak percaya. Tapi hasilnya tetap sama. Gerak-gerik bibirnya persis mengucapkan untaian kata-kata yang menyapa gendang telinga saya. Fixed, ini bukan editan. Ini beneran.

Keyakinan yang menjebak. Kepercayaan yang seketika melumpuhkan ritual rutin saya selama ini dalam mengamati dan menilai sesuatu yang terhampar pada gadget hasil unggahan atau share para teman di kontak. Dan ya, saya harus akui kalau kali ini saya merasa terjebak oleh perasaan.

Bagaimana tidak? Saya yang biasanya croscheck sesuatu terlebih dahulu sebelum saya share ke publik, kali ini dengan amat sangat gegabahnya saya menuliskan sebaris kalimat penghakiman untuk yang terhormat, Merry Riana, motivator kondang salah satu kebanggaan Indonesia.

Secara sembrono, saya menuliskan, “Merry Riana, Motivator Dungu” di facebook saya. Gampang ditebak, postinganku ini seketika ramai dikomentari. Ada yang bernada bingung, ada yang ikut mencela namun tidak sedikit pula yang membela. Bah!

Saya kecolongan sudah pasti. Iya, kecolongan akan mawasnya diri sebelum melontarkan hunjaman kata-kata yang kalau dibaca oleh Merry sendiri bakal sangat menyakitkan.

Yang terjadi adalah sayalah yang dungu. Kedunguan saya ialah kealpaan saya melakukan crosscheck seperti biasa kulakukan sebelum mengunggah sesuatu sebagai bahan konsumsi publik. Ini fatal. Bisa berujung bui apabila Merry mau. Saya juga akan dengan ksatria mengakui kalau yang saya lakukan adalah sebuah kekeliruan yang menimbulkan akibat tidak menyenangkan pada korban. Maka, melalui ini, sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada Sdr. Merry Riana.

Baca Juga :

LBH Jakarta Siap Gugat Johnny Plate, Mengapa Tidak Menguji ke MA?

PSE Kominfo dan Dangkal Nalar Pengkritiknya

PSE Kominfo: Berkaca pada Kematian Neda Agha Soltan

Faktanya, video itu ternyata punya gandengannya. Pasangannya adalah video yang berisikan pembalikan terhadap narasi pesimis pada video yang pertama, video yang sudah kupakai sebagai bahan menghakimi Merry.

Konyol sekali yang saya lakukan, bukan? Merasa sudah jadi dungu pun seketika menyergap diri saya. Malu sudah pasti. Godaan untuk berlaku sebagai pengecut pun seketika menghinggap: hapus cepat-cepat.

Namun, tidak! Saya tidak ingin menghinakan diri lebih rendah. Salah ya akui saja salah, ngapain kudu hapus hanya supaya terlihat baik? Saya manusia, bukan malaikat. Keliru dan keseleo jari apa lidah dalam menuangkan kata-kata adalah sesuatu yang amat wajar terjadi. Jadi, kenapa mesti memaksakan diri terlihat sebagai malaikat suci jika faktanya saya masih manusia tempatnya keliru dan khilaf biasa terjadi?

Juga, tadinya saya bertekad untuk menghapus postingan tersebut. Namun, demi kontekstualnya artikel yang kini lagi di tangan Anda, saya memilih tidak menghapusnya. Entahlah nanti setelah artikel ini kuyakin telah dibaca orang. Syukur kalau Merry sendiri ikutan membacanya. And I beg her pardon for the hate speech I’ve done.

Hatespeech dan Literasi Publik yang Terabaikan

Nah, sahabat semuanya…, apa yang baru saja saya lakukan seakan menambah panjang bukti bahwa bangsa ini sedang sakit. Setidaknya saya yang terbiasa menulis hal-hal yang rasional, faktual dan valid saja bisa keseleo jari. Jadi, taruhlah benar bahwa kita memang lagi sakit. Tapi sakitnya itu apa?

Sakit yang kita derita adalah “syndrome reaksi spontan”. Namakan saja begitu. Ini terjadi karena emosi kita biarkan mendominasi diri ketimbang nalar kritis untuk waras bertutur. Alhasil dampaknya pun akan ada pihak yang tersakiti. Yang terjadi pada saya memang begitu adanya.

Saya baru saja bangun tidur, (maklum masih liburan, waktu tidur saya suka-suka) tatkala dishare video yang saya masalahkan tersebut oleh seorang teman di WAG. Emosi terbakar akibat narasi pesimistik yang dibangunkan Merry di videonya tersebut amat melecehkan keyakinan saya tentang bangsa kita saat ini dan ke depannya demi melihat gebrakan-gebrakan kemajuan yang diorkestrasikan Jokowi dengan segenap paduan tenaga handal kabinet kerjanya lima tahun terakhir ini.

Tanpa pikir panjang, langsung saya statuskan di FB saya (cekidot sini yah bro sist). Belakangan ternyata itu cuma salah satu bagian dari keseluruhan narasi yang dibuat Merry. Yang dungu ternyata saya, bukan Merry.

Amatan saya, emosi suka mudah memengaruhi kita dalam menanggapi sesuatu terjadi karena kita tidak terbiasakan berliterasi. Literasi adalah kemampuan melek aksara (bisa baca tulis) yang disertai dengan kemampuan memahami konteks sebuah perkataan dalam sebuah tulisan atau gambar (menurut Merriam – Webster online). Kebanyakan dari kita hanya sampai pada taraf bisa baca tulis, lalu seakan sudah cukup untuk segalanya. Padahal dalam memahami sesuatu perkataan (termasuk yang tertulis atau tertayang tentunya), mensyaratkan penyelidikan saksama terlebih dahulu sebelum tiba pada kesimpulan akhir yang benar.

Mari kita bicara fakta! Kebanyakan dari kita itu suka baca setengah-setengah kalau tak cuma judul sebuah berita/info/tulisan. Demikian pun saat menyimak sebuah tayangan video. Kita cuma simak awalnya saja, lalu seketika prematur berkesimpulan. Kalau kali ini saya yang berlaku demikian, bukan tidak mungkin besok atau lusa atau malah sudah kemarin-kemarin anda melakukannya. Itu semua terjadi akibat kita melalaikan satu hal yang amat vital untuk menuju kebenaran hakiki: literasi.

Dengan demikian, biar kita tidak akan lakukan lagi hal-hal konyol, literasi publik perlu kiranya dibudayakan. Kepada siapa kita menuntas harap? Negara?

Huh! Jangan sekali-kali cuma berharap pada negara sebab negara terbentuk dari kita-kita ini juga. Jadi, janganlah sekali-kalipun gantungkan harapan untuk kebutuhan itu pada negara, apalagi pada mantan!

Ceile….!

Aven Jaman

Aven Jaman

"Santrine" Gus Dur, Gilain Sukarno, kadang "liar" seperti Sujiwo Tedjo, namun takut alami kematian macam Sartre dan Voltaire.

Berikutnya
Sudah Adilkah @PartaiSocmed Menyerang Menteri Perhubungan?

Sudah Adilkah @PartaiSocmed Menyerang Menteri Perhubungan?

My Tweets

Populer

  • LBH Jakarta Siap Gugat Johnny Plate, Mengapa Tidak Menguji ke MA?

    LBH Jakarta Siap Gugat Johnny Plate, Mengapa Tidak Menguji ke MA?

    289 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Astaga! Justru kalau Pepo yang Jadi Presiden Saat Ini, Indonesia Sudah Ambruk

    17 shares
    Share 17 Tweet 0
  • Genjot Transformasi Digital, Kominfo Kerjasama dengan Oracle dan UMN

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Benarkah Presiden Jokowi Penuhi Ramalan Jayabaya?

    238 shares
    Share 238 Tweet 0
  • Kartini Squad, Sosok-sosok Hebat di Belakang Pahlawan Jalan Raya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tentang
  • Redaksi
  • Info Iklan
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer

© 2018 www.narasikita.com

No Result
View All Result
  • Home
  • Politik
  • Sejarah
  • Internasional
  • Celoteh netizen
  • Cerpen
  • Hiburan

© 2018 www.narasikita.com

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Password Reset
Please enter your e-mail address. You will receive a new password via e-mail.