Sebenarnya sah-sah saja bila misal merancangkan gaji yang pantas untuk para guru. Nasib korps ini memang wajib diperhatikan dari rezim ke rezim sebab merekalah yang paling bertanggung jawab terhadap mutu intelektual kita sebangsa. Ironisnya, kesadaran ini baru ada sejak reformasi bergulir. Di era Orde Baru, nasib para pahlawan tanpa tanda jasa ini benar-benar mengenaskan.
Saking mengenaskannya, sampai ada sebuah anekdot satire buat mereka di zaman itu bahwa sebetulnya Soeharto sangat menghargai jasa mereka. Saking ingin menghargai, Soeharto pun ingin memberi mereka gaji yang luar biasa besar. Namun begitu kas negara ditengok, ternyata dananya tidak mencukupi.
Maka, biar menghibur hati para guru, Soeharto pun memberi mereka gelar sebagai pahlawan. Eh, ternyata taman makam pahlawan pun juga tidak mampu memuat mereka semua bila harus dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Dasar Soeharto cerdik, (bila menolak dibilang licik), para guru ini pun memang tetap dikasih gelar pahlawan. Namun, gelar tersebut tanpa diembel-embeli tanda jasa. Maka, semasa Orde Baru jangan heran apabila guru sering disapa sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Untuk hal ini, Soeharto perlu dinilai genius. Hehehe….
Memerhatikan Tidak Otomatis Menjanjikan Gaji Tak Masuk Akal
Oke, sekarang ini nasib guru boleh dikata sangat amat diperhatikan. Selain gaji, tunjangan profesi juga mereka terima membuat guru jadi golongan sosial baru yang tergolong elite di kelas sosial menengah ke bawah. Kita perlu mensyukuri ini karena guru sudah boleh menikmati balas jasa pengabdiannya mencerdaskan bangsa secara pantas.
Namun, entah dapat wangsit darimana, tetiba saja Mardani Ali Sera muncul menghentak publik dengan wacana yang tergolong bombastis terkait gaji para guru. Tidak main-main, dia langsung menjanjikan gaji sebanyak 20 juta rupiah tiap bulan untuk para guru.
Ini sungguh konyol. Pertama, pernyataannya itu seolah gaji para guru saat ini belum mencapai level pantas. Padahal, andaikata dia sedikit berlelah letih menganalisa data baru bicara, dia akan tahu bahwa sebetulnya gaji para guru sudah sangat layak, bahkan jauh di atas gaji profesi lain di kelasnya. Mungkin yang mendekatinya di sini adalah gaji petugas paramedis.
Kedua, pernyataan ini jelas menyesatkan. Mari berhitung! Jumlah guru seindonesia ada 3,1 juta orang. Dikasih gaji rata-rata 20 juta per bulan maka setidaknya negara harus sediakan PAGU anggaran 62 T sebulan, 744 T setahun. Padahal, tahun ini saja PAGU anggaran untuk Kemendikbud secara total tidak sampai 200 T (cek https://news.detik.com/berita/4219621/komisi-x-dpr-setujui-anggaran-kemendikbud-rp-359-triliun).
Nah, menyusul polemik yang terjadi di media sosial terkait janji yang dilontarkan Mardani Ali Sera, dia pun buru-buru menglarifikasi kalau itu adalah usulan pribadi. Klarifikasinya ini muncul setelah bahkan Prabowo, orang yang harusnya dia dukung untuk jadi presiden pada periode mendatang ikut mementahkan janjinya yang tak masuk akal tersebut.
“Kenaikan ini, kenaikan itu, uang dari mana gitu lo,” kata Prabowo kepada wartawan di Hotel Shangri-La, Jakarta, 21/11/2018.
Mardani Kembali Mempermalukan Dirinya Sendiri
Klarifikasi boleh saja sudah digelar MAS. Klarifikasinya itu menyusul keraguan Prabowo atau tidak, apa yang dibuat MAS adalah kali ke sekian dia mempermalukan dirinya sendiri. Niat mau “ngibulin” rakyat, apa daya dia sendiri kena bully.
Publik sekalian tentunya tidak lupa bahwa tokoh yang paling getol menyuarakan tagar 2019gantipresiden adalah MAS. Tagar itu, tagar yang tentunya tidak didukung oleh sejumlah analisa linguistik yang cukup. Wajar apabila dia kemudian dibully di sana-sini. Pernyataan kader PKS ini terkait tagar 2019gantipresiden oleh sejumlah kalangan dinilai sebagai kamuflase dari hidden agenda yang licik: ganti sistem.
Dinalar saja, ganti presiden berarti ganti gelar buat kepala negara/pemerintahan. Presiden itu padanannya adalah raja, kaisar, tsar, sultan, khilafah dan Sri Paus. Nah, kalau benar punya hasrat mau ganti presiden, itu sudah otomatis ganti sistem. Padahal kalau mau mengganti Jokowi ya bikinlah tagar #2019GantiJokowi, masih masuk di akal karena selain secara konstitusional tahun 2019 adalah tahun pilpres, juga tagar ini relatif tidak menuai polemik tentang pergantian sistem.
Tapi begitulah, Mardani Ali Sera memang senang asal bacot, tidak punya basis data analisis terkait apa yang diomongkan. Dengan kata lain, pinjam istilah kawan-kawan saya di forum diskusi ala warung kopi, Mardani Ali Sera ini layak disebut ‘ngebacot dulu baru mikir kemudian’, khas penderita #DefisitNalar.(*)