Tulisan ini tidak akan lahir dari tangan ini apabila yang saya temukan adalah cuitan seorang jelata, seorang dengan kapasitas akademik tergolong biasa.
Tapi ini adalah cuitan seorang elit akademisi, selain jabatannya sebagai jubir salah satu calon presiden pada kontestasi pilpres 2019. Tertulis di beberapa portal media terpercaya nama yang bersangkutan: Dr. Dahnil Anzar Simanjuntak, S.E., M.E. Di mana, bila menengok gelar akademiknya, terkesan luasnya wawasan berpikir, tingginya ilmu, dan dalamnya pengetahuan.
Nyatanya apa? Tokoh itu begitu ditrace ternyata merujuk pada sebuah akun twitter dengan tag name @Dahnilanzar, akun yang pada 17 Februari kemarin menerbitkan cuitan demikian:
“Jokowi klaim Membangun jalan desa 191000 km.
Ini sama dengan 4,8 kali Keliling Bumi atau 15 kali Diameter Bumi.
Itu membangunnya kapan? Pakai ilmu simsalabim apa?ternyata produsen kebohongan sesungguhnya terungkap pada debat malam tadi,” demikian cuitnya.
Cuitannya ini kontan saja mengundang reaksi beragam. Di antaranya Yunarto Wijaya, Direktur Lembaga Survey Charta Politica ikut mengomentari.
Di tempat lain, melalui akun facebooknya, Gus Yaqut Cholil Qoumas, Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor juga ikut berkomentar. Berikut komentarnya,
Meski Jokowi Keliru Data, Kritikan Dahnil Tetap Tidak Tepat Sasaran
Biar fair, sebelumnya saya perlu katakan bahwa Dahnil sebetulnya bisa dibenarkan poin koreksinya apabila menyangkut validitas data yang diungkap Jokowi saat diadu debat dengan Prabowo, junjungan Dahnil. Sebab, data yang diungkap Jokowi pada sesi debat tersebut berbeda dengan data yang diunggah oleh akun youtube Presiden Joko Widodo pada Oktober 2018 (cek sumber). Pada sesi debat, Jokowi mengklaim data 191.000km jalan desa berhasil dibangun. Tapi di akun youtube yang melaporkan raport kinerja 4 tahun Jokowi memerintah negeri ini menampilkan angka 158.691KM, ada selisih 30an ribu KM.
Akan tetapi, karena yang dikoreksinya adalah soal panjang ruas jalan yang seolah melebihi panjangnya Indonesia bila ditarik lurus, di situlah bodohnya dan karenanya tulisan ini perlu saya bikin.
Saya bikin ini tidak dimaksudkan sebagai upaya membela Presiden Jokowi karena nyatanya juga keliru soal data yang beliau ungkap. Namun tulisan ini lebih diorientasikan pada betapa gelar akademik itu tidak selalu linear dengan kewarasan berargumentasi. Sebab, sebagaimana telah saya tulis di atas, harusnya gelar akademik mencerminkan luasnya wawasan, tingginya ilmu dan dalamnya pengetahuan.
Pertanyaannya, Mengapa Dahnil Bisa Alami Inkonsistensi Akademis Seperti Itu?
Dalam analisa saya, inkonsitensi Dahnil antara gelar akademiknya dengan kecakapan berwawasan bisa terjadi akibat:
1. Adanya kesombongan ilmiah. Seorang bergelar profesor, doktor dan sejenisnya itu hanya untuk satu bidang tertentu saja di antara sekian banyaknya bidang kehidupan di bawah kolong langit ini. Karena ahli di satu bidang, seseorang bisa saja terjebak pada kesombongan ilmiah yang mana merasa di luar bidangnya itu pasti tidak berarti apa-apa. Kebenaran-kebenaran yang ditunjukkan orang yang level akademiknya di bawahnya dianggap pasti salah, padahal yang mengungkapkan kebenaran itu tahu dengan pasti fakta maupun teorinya meski dari segi akademik dia recehan dibandingkan dengan sang tuan doktor apalagi profesor. Dahnil bisa masuk dalam katagori doktor dengan mengidap “penyakit akademis” ini.
2. Pelacuran akademis demi kepentingan pragmatis (politik). Sekarang pada musim politik, sangat sering kita jumpai tokoh-tokoh akademis yang menggadaikan integritas keilmiahan yang dimiliki demi kepentingan politik. Menggadaikan kadar keilmiahan demi kepentingan politik itu tidak beda dengan melacurkan dunia akademik untuk ditukar dengan syahwat pada kekuasaan. Dahnil bisa saja terjebak dalam asumsi ini juga bila mengingat bahwa beliau adalah dosen pada dua buah perguruan tinggi. Sebagai seorang dosen, tentu beliau tidak ingin dianggap remeh oleh para mahasiswanya. Namun, dengan cuitannya di atas, sepertinya beliau sudah tidak peduli dengan pandangan mahasiswa yang digemblengnya, menyangkut kini beliau adalah jubir salah satu capres yang lagi bertarung demi kursi RI 1 pada 17 April mendatang. Ringkasnya, dia tahu bahwa jalan-jalan di Indonesia itu berkelok-kelok karena kontur topografis negeri ini yang berbukit, berlembah dan berngarai, maka mestinya paham apabila panjang jalannya malah melebihi panjang Indonesia itu sendiri bila ditarik lurus. Akan tetapi, demi kepentingan politik sang junjungan dengan sukarela berbodoh ria dengan cuitan recehnya tersebut.(*)