Kasus BLBI ini memang tergolong langka. KPK masih saja terus memburu tersangka yang secara hukum sebetulnya sudah melaksanakan kewajibannya. Sementara di sisi lain, KPK seolah menutup mata terhadap obligor lain.
Maka, yang paling fenomenal dari kasus ini ialah sikap KPK yang anomali. Mengapa dikatakan anomali sebab sebetulnya kasus ini harusnya sudah final, sudah selesai.
Faktanya, salah satu penerima dana BLBI itu sudah melakukan kewajiban hukumnya. Pemerintah sudah menerbitkan SKL sesuai amanat TAP MPR No. X Tahun 2001, TAP MPR No. VI Tahun 2002. Dasar hukum lainnya juga adalah UU Propenas, Laporan Audit BPK tahun 2002 dan 2006, Surat Keterangan Lunas (SKL), dan Surat Release and Discharge (R&D) yang dikeluarkan oleh pemerintah dan sudah dikuatkan dalam Akta Notaris pada tahun 1999 menyatakan kasus ini sudah selesai. BDNI dalam hal ini Sjamsul Nursalim (SN) sudah memenuhi semua kewajiban yang diamanatkan. Artinya, dari segi hukum seharusnya kasus ini sudah selesai.
Anehnya KPK menetapkan SN sebagai tersangka karena dianggap belum melunasi pinjaman kepada petani/petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Sementara hutang peternak adalah asset BDNI yang melekat pada BDNI, sehingga menjadi faktor pengurang nilai asset saat BDNI diambil alih oleh pemerintah (BPPN) tanggal 4 April 1998.
Jadi, kalaupun ada kesalahan perhitungan asset, apakah SN yang pantas bertanggung jawab? Selain itu dari sekian banyak Obligor BLBI kenapa yang sudah melunasi kewajiban seperti SN ini yang dipermasalahkan kembali?
Apresiasi terhadap Putusan MA
Nah, di tengah kemelut kasus BLBI ini, ada sebuah kejadian di mana MA jeli melihat kasus ini sebagai kasus yang tidak patut masuk ranah pidana khusus. MA memutuskan bebas Arsyad Temenggung yang pada dua pengadilan sebelumnya divonis bersalah karena merugikan negara.
MA, di sisi lain jujur melihat masalah yang membelit Arsyad adalah sebuah kepatutan pejabat negara dalam mengatasi krisis. MA melihat bahwa BPPN, lembaga negara yang dibentuk khusus menangani krisis ekonomi yang dikepalai Arsyad saat itu memang punya kewajiban untuk mengatasi krisis. Salah satu cara mengatasi krisis adalah menerbitkan surat lunas hutang terhadap Sjamsu Nursalim.
KPK di sisi lain seolah memakai kaca mata kuda. Bahwa ada kerugian negara dalam kasus tersebut memang benar, namun, kerugian itu punya dasar hukum yang mendasar bahwa negara memang punya kewajiban menyehatkan kembali perbankan setelah diterpa krisis lewat penerbitan surat lunas hutang. Artinya, kerugian negara yang ditimbulkan dari keputusan Arsyad adalah sebuah keharusan karena didesak situasi bahwa negara berkewajiban mengatasi krisis ekonomi.
Kelirunya KPK adalah, dia menggunakan kaca mata masa kini dalam menilai masa lalu. Bila diteropong dari sudut masa kini untuk situasi krisis di masa lalu jelas merupakan kekeliruan yang fatal. Bagaimana mungkin latar masa kini yang relatif normal situasi perekonomiannya dipakai untuk mengukur situasi krisis di masa lalu. Anakronis! KPK keliru besar.
Namun, KPK sudah kadung dicintai publik akibat prestasinya dalam memburu para maling duit rakyat. Maka, kuat dugaan kalau KPK tetap saja mempermasalahkan skandal BLBI ini tetap dengan rasa percaya diri yang tinggi padahal aslinya fatal kelirunya.
Saking dicintai publik, KPK seolah menahbiskan dirinya sebaga lembaga antibodi yang bersih dari kekeliruan, sudah setara malaikat. Padahal, langkahnya mempersoalkan kembali skandal BLBI adalah sebuah langkah keliru dari segi hukum. KPK sudah nyata memraktekkan kekuasaan yang bagai tak ada salah, “The King Can Do No Wrong”. Maka, apa yang dibuat MA terhadap Arsyad Temenggung justru patut diapresiasi sebab MA terbukti nyata melihat kasus ini secara jernih.
Logikanya kan begini, BPPN itu didirikan negara sebagai instrumennya dalam menyehatkan perbankan tatkala diterpa krisis. Ketika BPPN ini melaksanakan kewajibannya sesuai tujuan dia didirikan, negara memang akan merugi namun itulah dampak dari kewajibannya menyehatkan perbankan nasional ketika krisis ekonomi menerpa. Itulah yang terjadi pada 1998, tahun di mana Arsyad Temenggung sebagai kepala BPPN mengambil keputusan menerbitkan surat lunas hutang untuk para obligor yang di dalamnya ada Sjamsu Nursalim.
KPK Terkesan Tebang Pilih
Anehnya lagi, apa yang dari segi hukum bisa dipertanggungjawabkan tersebut, oleh KPK tetap dipersoalkan dengan menjadikan Sjamsu Nursalim menjadi target utama. Padahal, justru SN sudah melaksanakan kewajibannya mengembalikan kerugian negara. Mengapa terus diburu? Obligor lain seperti Bob Hassan, Anthoni Salim kok seperti dikecualikan. Ada apa dengan KPK ini?
Sebab, seandainaya KPK konsisten melihat BLBI adalah sebuah skandal, harusnya semua obligor yang mendapat kucuran dana dari BLBI diburu, bukan cuma SN seorang saja.
Di sinilah publik perlu melihat kejanggalan langkah KPK ini. Publik perlu jujur melihat bahwa kali ini KPK telah keliru. Sudah keliru, masih juga melakukan apa yang sebetulnya haram dalam dunia penegakan hukum yakni tebang pilih menarget tersangka. Masihkah publik membela lembaga antibodi yang nyata berlangkah keliru ini? Jangan sampai!
Sebagai penguat narasi bahwa KPK telah keliru kali ini, mari kita simak saja pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla lewat kompilasi berikut ini.