Sejak hari pertama dia menjadi istri dan dibawa masuk ke dalam rumah rombengan itu, semua saudara perempuan suaminya menyanyikan lagu rohani dengan nyaring – sambil melecehkan hal-hal yang baik dari semangat kemudaannya. Mereka ingin merampok harga dirinya.
Konon, dia dilahirkan dari rahim perempuan berharta. Bros bunga yang tersemat di kebaya ibunya terbuat dari emas yang ditempa jari-jari lentik dari kota Kendari, halus berukir, untuk dijadikan pusaka keluarga. Tapi ibunya salah memilih cinta. Kecoak yang mengawininya ternyata kencing di mana saja, di gunung, di kota, di tengah sawah, di pertokoan, di pesta orang kawin maupun di rumah duka. Selain kencing, juga minum arak merah, arak putih dan nira. Mabuk tanpa sadar sampai ibunya melahirkan seperti kucing, bersama-sama juga empat anak lain dari dua ibu yang berbeda.
Bros bunga itu yang terakhir digadai. Sebelumnya, tiga helai kebaya tenun dari benang sutera asli kabupaten Sengkang, juga dilepas nyaris tanpa harga ke siapa saja yang mau membeli. Berikut sebuah bangunan besar batu yang megah, ditukar dengan sejempol emas, supaya kecoak itu menyambung sehari lebih lama di meja judi.
Ibunya akhirnya menyamar dari perempuan jelita menjadi jelata. Dan dia beranjak dewasa dengan kisah semarak ibunya. Tentu saja bukan ibunya yang berkisah, tapi orang lain yang tahu sejarah ibunya.
Mereka besar dalam rumah petak ‘panggangan kue’ tanpa kamar yang miring ke kanan, karena pondasinya lemah. Baik dinding maupun atap, dibangun dari satu lapis seng bergelombang yang rapuh. Bila matahari sedang terik, mereka ibu beranak di dalam berbunyi mendesis-desis, meletup-letup karena panas, gerah. Ada sumur kecil di belakang, sumber segala gairah. Menyatu dengan dapur berkompor minyak tanah. Juga menyatu dengan kakus yang tidak memiliki septik tank yang tertanam di dalam tanah.
Kakus itu berupa dudukan dari bata berbentuk kotak kecil berukuran 60 x 60 cm yang diplester serampangan, diberi lubang di bagian atas. Bergantian mereka memanjat bila ingin buang hajat,harus pas! Jika penuh, ada tukang kuras tinja yang akan memalu lubang itu dan membuatnya sedikit lebih besar agar gayung bisa tembus. Lubang itu akan diberi sedikit campuran semen, ditambal kembali ke ukuran semula, jika telah selesai dikuras.
Dia dan adik-adiknya mandi menggosok badan dengan sabun batang bercampur aroma tinja yang lembut mengalir. Satu waktu, dia menjadi semakin cerdas dan memungut balok kayu busuk dari bangunan terlantar. Menutup lubang kakus, wanginya sedikit lebih samar.
Ibunya yang sedang menyamar itu, juga punya banyak akal, selalu memasak sepanci besar bubur encer dengan ikan kering. Semua bisa kenyang. Di usia di bawah belasan, mereka tidak sekolah dan tidak mengemis dan tidak mencuri. Tapi berjualan jalangkote panas buatan ibunya, mereka berhamburan ke jalanan kota sepanjang garis pantai.
Jalangkote yang tersisa akan dikumpulkan dan dibagi rata, menjadi makan malam mereka. Semua tetap tidur lelap, bermimpi ayam goreng dan bakpao silih berganti berlompatan memenuhi meja. Apalagi, jika subuh menjelang, udara dingin sedikit iba kepada mereka, perlahan mengembun di atap seng yang membara. Mimpi menjadi semakin nyata.
Dia kemudian menjadi mahir menjahit di usia belasan. Ada ‘tante peri’ yang memberi sepeda pancal, dan membayar kursus menjahit untuknya. Karena iba melihat mereka seperti anak-anak tikus berumah ‘panggangan kue’ di dalam lorong kumuh yang mengerikan. Diharapnya anak ini akan menjadi penyelamat keluarga.
Mereka semua merantau tanpa modal ke mana saja. Tapi manusia berpeluh selalu mendapat upah, ada yang kaya raya membangun jembatan, ada yang sukses jual beli rumah, ada yangbiasa saja tapi hidupnya juga tenang, ada yang bahkan bersantai-santai minum air kelapa di atas kapal ikan, karena dia kaptennya.
Tapi dia tetaplah berbeda, sembilan rumah kokoh nan luas telah dibangunnya. Semua kepunyaannya. Masing-masing memiliki kamar mandi dan toilet yang mewah di tiap kamar, dia pun lega. Dia memang garang dan menolak diusik, karena dia tahu siapa dirinya, mencari makan dengan cara lurus. Dia pekerja keras. Mata dan telinganya ditutup ketika dulu semua saudara perempuan suaminya bergantian ingin merusak dan merampas.
Pagi ini, usianya sudah lima puluh delapan tahun. Anak-anaknya tidak mengalami penderitaan dan kesulitan yang dulu dia rasakan. Hari ini pun dia masih sangat bersemangat, menyelesaikan ratusan pasang baju pesanan ibu-ibu pejabat dan pegawai kantoran. Ada dua puluh tujuh penjahit halusan yang dia berdayakan.
Musuhnya menjadi segan dan takjub sekarang. Perempuan yang menolak dikerdilkan karena kemiskinan, perempuan petarung.
Dia dijuluki Macan Lorong, walaupun sudah puluhan tahun yang lalu dia telah merobohkan rumah ‘panggangan kue’ di dalam lorong kumuh itu. Macan Lorong itu, ibuku…
ditulis oleh Caroline Wong – pernah dimuat di harian Fajar Makassar, tanggal 28 Januari 2018.