KPK berhasil merebut simpati publik atas kiprahnya meringkus koruptor-koruptor selama ini sangat kita maklumi. Namun, apabila simpati publik kepadanya itu berubah menjadi cinta buta, itu patut dikoreksi. Prestasinya yang mentereng tidak serta-merta membuatnya jadi malaikat tanpa noda. Sebab, sebetulnya KPK itu berisikan manusia-manusia yang bisa saja terjebak dalam godaan-godaan tertentu lalu menggunakan institusi dalam menarget korbannya.
Skandal BLBI adalah contoh nyata di mana KPK memanfaatkan simpati publik kepadanya. Padahal, apa yang dia lakukan terhadap kasus BDNI – BLBI adalah sebuah kekeliruan.
- Kasus ini sebetulnya sudah sudah selesai, Sjamsul Nursalim sudah menyelesaikan kewajibannya (baca : Resume Penyelesaian BLBI – BDNI).
- BLBI adalah kewajiban negara dalam upaya menyelamatkan perekonomian negeri tatkala dilanda krisis di tahun 1998. Mengadili situasi 1998 pakai kaca mata zaman now adalah sebuah anakronisme, sesuatu yang “ga nyambung” dari segi waktu.
- Lebih dari itu, sudah menjadi fakta hukum KPK dinyatakan kalah oleh MA dalam kasus mantan kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) beberapa minggu lalu. Kasus SN sendiri merupakan pengembangan dari dakwaan terhadap SAT. Kalau pokok dakwaannya ke SAT gugur (dibebaskan tingkat kasasi), bagaimana dengan SN?
Kalau sudah kalah di MA, terus berwacana di luar, ke hadapan publik, dengan pernyataan yang menyesatkan, itu pertanda kalau KPK tidak sadar hukum.
“Putusan ini ‘aneh bin ajaib’, karena bertentangan dengan putusan hakim PN dan PT,” ujar Laode, Wakil Ketua KPK. Sebuah pernyataan yang tidak sepatutnya keluar dari penegak hukum (https://www.suara.com/news/2019/07/09/180322/ma-kabulkan-kasasi-syafruddin-pimpinan-kpk-putusan-aneh-bin-ajaib ).
KPK Tidak Bisa Ajukan PK
Pengadilan tertinggi itu ada di kasasi MA. Kalau kalah di situ, tentu sudah tidak bisa apa-apa lagi. Untuk bisa PK pun juga KPK tidak bisa. Sebab seperti kata Prof Romli Atmasasmita di akun FB beliau, tugas dan wewenang KPK selesai sampai putusan inkracht (putusan Kasasi). Jalur judisial tidak bisa diintervensi jalur non-judisial.

Selanjutnya Prof Romli menyajikan fakta hukum bahwa kasus yang dinyatakan bebas di tingkat kasasi (MA) tidak bisa diajukan Peninjauan Kembali berdasarkan pasal 263 ayat (1) KUHAP: Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung.
Jadi? Ngototnya KPK membongkar kasus yang sebetulnya dari sisi hukum sudah tidak bermasalah patut digugat oleh publik. Publik tidak boleh diam terhadap arogansi KPK ini. Sebab, sekali lagi, jangan karena dia begitu disukai publik jadi bisa semau gue, bisa tabrak sana-sini. Dampaknya pun mahal untuk negara sebesar Indonesia, jika tidak punya kepastian hukum iklim investasi akan memburuk yang akan berdampak besar pada pertumbuhan ekonomi.
Kalau KPK tidak bisa juga menerima kekalahan pertamanya di MA, lalu buat apa ada MA? Bukankah di MA itu semua kasus diuji dan dipelajari kebenarannya? Bukankah mestinya wajar KPK bisa kalah dan juga bisa menang? Lama-lama pengadilan bukan lagi tempat mengadili perkara tetapi jadi tempat ketok palu apa pun yang disodorkan KPK. Ini lembaga bentukan manusia, diisi manusia. Kalau bisa kalah ya lumrah, bikinan manusia kok lembaga itu. Isinya pun manusia biasa yang bisa saja berbuat salah.

Tidak! KPK tidak boleh dibiarkan berlaku arogan. Publik harus bersuara. Sebab, bila dirunut kasusnya, kelihatan sekali di sini KPK memaksakan kehendaknya.
Tahun 1998, negeri kita diguncang krisis multidimensi yang dipicu oleh krisis ekonomi. Negara kita nyaris menjadi negara gagal di saat itu akibat krisis ekonomi sedemikian parah. Karenanya melalui Keppres no 27 tahun 1998, presiden pun membentuk sebuah lembaga bernama Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Tugas pokoknya: penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan. Agar dapat melakukan misinya, BPPN dibekali seperangkat kewenangan yang tertuang dalam Keppres No. 34 Tahun 1998 tentang Tugas dan Kewenangan Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagai landasan hukum operasional.
Jadi, secara hukum BPPN ini telah melaksanakan tugas negara. Menjalankan misi saat negara diguncang krisis. Kalau menilai tindakannya salah, jelas itu keliru. Tak bisalah kaca mata zaman sekarang dipakai untuk mengukur tindakannya di masa krisis di masa itu.
KPK Juga Tidak Bisa Gandeng KY untuk Mengubah Putusan Kasasi MA
Maka, ketika kini ada wacana KPK hendak gandeng Komisi Yudisial untuk lidik putusan MA seolah-olah MA memutus bebas Temenggung Arsyad karena punya tendensi macam-macam, KPK telah menjelmakan diri sebagai lembaga yang arogan, tidak taat hukum. Lebih dari itu, KPK bahkan bisa dibilang tidak mengerti hukum.
Sebab apa? Komisi Yudisial adalah komisi yang berwenang menilai etika hakim, bukan teknis judisial. Ibarat kata, ofisial pertandingan adalah KY. Hakim adalah wasit. Apapun keputusan wasit, itu berlaku inkracht, tidak bisa diganggu gugat. Mau gandeng ofisial pertandingan untuk mengubah putusan hakim dalam pertandingan?

Demikian pula ini. Memangnya kalau misal tindakan hakim memutus perkara dimaksud oleh KY dinilai salah maka otomatis putusan MA jadi batal, begitu? Payung hukumnya mana yang mengatur demikian? Jadi jelas, KPK salah kaprah. Malah bisa dibilang tidak paham hukum. Ini ironi. Penegak hukum tapi tidak paham hukum.
Nih! Simak kata-kata para tokoh berikut!