Perantauan dari kawasan timur Indonesia yang menamakan diri sebagai Komunitas Timur Indonesia Bersatu itu pun lantas mementaskan aksi tari perang di Jakarta pada Sabtu, 12 Oktober 2019 di Jakarta, kemarin.
“Dengan menampilkan tari perang ini, itu berarti kami memberitahukan bahwa kami telah siap perang. Kami di Indonesia Timur, kalau berperang entah perang dalam rangka apapun pasti selalu dibuka dengan tarian perang seperti ini. Maka, kalau kami sudah mementaskan tari perang ini di sini, itu artinya kami telah siap perang, kami sudah ready untuk perang”, demikian Andre Rehiary, salah satu koordinator aksi tersebut di hadapan awak media yang meliput.

“Jadi, ada gerakan apapun yang mengganggu NKRI, apalagi hendak menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober nanti, maka akan berhadapan dengan kami. Kami siap perang. Kami siap pertaruhkan nyawa”, demikian sambungnya yang disambut dengan pekikan penuh gelora rekan-rekannya di lokasi.
Apa yang dikatakan oleh Rehiary dan yang juga dipertegas oleh koordinator lainnya di aksi tersebut bukanlah tanpa alasan. Apalagi bila dituduh hanya untuk gagah-gagahan semata. Bukan!
Warga di kawasan timur Indonesia memang memiliki tipologi sosioantropologis yang rata-rata mirip. Di balik fisik mereka yang rata-rata berpenampilan garang, sebetulnya tersembunyi jiwa ksatria yang perkasa. Mereka akan dua kali lebih baik apabila mereka diperlakukan baik layaknya saudara sendiri. Tapi mereka juga akan jauh lebih jahat apabila mereka dijahati.
Catatan Redaksi mengenai video: Semula unggahan di kanal youtube ini dibuat dengan subtitle Jalan Damai Bersama Maluku. Rupanya pengunggah yakni AJBertutur keliru berpersepsi tentang isi video yang dikiranya merupakan massa yang terlibat dalam Aksi Jalan Damai Bersama Maluku, Minggu, (13/10/2019). Aslinya, video ini adalah massa dari aksi sebelumnya, Timur Indonesia Bersatu pada Sabtu, (12/10/2019). Melalui pemberitahuan ini pula semoga meluruskan kesalahpahaman yang kadung terjadi.
—————————
Mungkin, mungkin karena alamnya yang rata-rata menantang telah secara tak langsung membentuk karakter orang-orang di Indonesia timur menjadi pribadi-pribadi yang menyukai pola pergaulan sosial yang penuh kejujuran tanpa polesan kemunafikan. Bagi mereka, suka katakan suka, tidak suka katakan tidak suka. Sebab, bagi mereka, bila sekalinya berbohong akan mengundang kebohongan baru lagi selanjutnya. Ujung-ujungnya pasti merusak persaudaraan dan kekerabatan yang memang sangat dijunjung tinggi oleh mereka.

Karakter seperti ini terbawa juga ketika mereka merantau ke barat, ke Jawa, Sumatera dan belahan barat lainnya Indonesia. Andre Rehiary dan kawan-kawan hanyalah sebagiannya dari mereka.
Mengapa Tari Perang Dipentaskan Kemarin di Jakarta?
Karena sikap yang ksatria atau menyukai keterusterangan sudah menjadi ciri khas masyarakat dari kawasan Timur Indonesia, maka di mana pun mereka hadir, mereka akan menunjukkannya secara jantan.
Dalam kaca mata semacam itulah kita akan bisa menangkap pesan atau isyarat yang hendak disampaikan oleh komunitas Timur Indonesia Bersatu melalui tari perang yang mereka pentaskan. Kita pun jadi paham bahwa apa yang disampaikan oleh Andre Rehiary bukanlah pesan main-main atau sekadar ingin terlihat gagah.

Beneran mereka telah siap perang. Itu yang mesti ditangkap. Tapi kenapa dan perang melawan siapa? Mengapa pula mesti dipentaskan di Jakarta?
Sebagai orang yang juga lahir di timur Indonesia, saya bisa menangkap alasan mengapa tari perang ini kemarin dipentaskan walau saya tidak terlibat di acara tersebut. Dugaan saya, tari perang tersebut dipentaskan karena rata-rata warga dari kawasan timur ini sudah gerah dengan situasi negeri ini.
Gerah dan kegeraman itu terbit antara lain karena pemicu sebagai berikut:
Satu, kawasan Timur adalah wilayah yang selama sekian puluh tahun Indonesia merdeka, cenderung dianaktirikan padahal kalau diukur dari segi kekayaan alam, kawasan timur ini menyimpan sekaligus menyumbang banyak bagi republik. Bayangkan! Sejak 1992, baru dari Papua saja sudah menyumbang 214 T rupiah untuk bangsa ini. Itu baru dari Papua yang memang kekayaan alamnya sudah lebih dulu dieksplore. Masih ada NTT, Maluku dan Sulawesi yang rata-rata kandungan mineral di alamnya masih belum tergarap maksimal.
Sudah menyumbang sebesar itu yang baru dari Papua saja, balasan negara ini kepada kawasan tersebut tak sebanding. Pembangunan infrastruktur jalan dan penerangan kebanyakan hanya retorika Jakarta selama sekian puluh tahun negeri ini merdeka dari penjajah asing.
Baru saja Presiden Jokowi hendak membenahi itu supaya terjaminnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, eh, pecah kasus rasisme Surabaya dan Malang terhadap warga Papua yang berbuntut timbulnya tragedi di bumi Cenderawasih sana.
Ini ibarat baru saja menyuapkan satu dua sendok makanan ke mulut setelah lapar yang kelamaan, eh, tetiba nasi berikut piring dan periuknya dirampas.
Maka, kalau orang dari kawasan timur ini marah ya wajar. Tampilkan tari perang ya patut.
Dua, Pancasila yang jadi dasar dari negara ini lahir di kawasan timur, tepatnya di Flores, NTT. Pancasila inilah yang mengikat bangsa yang beraneka ragam ini bisa tetap hidup berdampingan walau terdiri dari 700an suku dan lebih dari 5 agama dianut warganya.
Baru saja ada tokoh berintegritas tinggi unjuk kebolehan dalam memimpin secara cakap selaku administrator keadilan sosial, namun karena dia datang dari unsur minoritas, dia pun ditumbangkan hanya karena keseleo lidah. Pancasila pun seolah menjadi semacam pengikat semu di hadapan segelintir kaum yang haus kekuasaan namun sembunyi di balik jubah keagamaan, berlindung di balik ayat-ayat suci.
Padahal, urusan masuk surga atau tidak, itu urusan Tuhan dengan masing-masing pribadi warga, bukan urusan sesama manusia yang sama-sama sedang mencari surga sejati milik Tuhan. Sesama peziarah kok merasa paling berhak atas kota yang dituju, kota yang bahkan kunci gerbangnya pun masih dipegang oleh pemiliknya sendiri nun jauh di sana. Anda sudah sampai di depan gerbang sekalipun kalau pintu tak dibukakan oleh pemilik kota ya sia-sia Anda berziarah jauh-jauh. Lantas, mengapa merasa paling berhak?
Pancasila, karena lahir di timur, pantas kalau amat dijaga di kawasan tersebut. Eh, tapi kini dikangkangi dengan pongah oleh mereka yang haus kekuasaan pakai cara rusuh berbungkus unjuk rasa.
Maka, kalau orang dari kawasan timur ini marah ya wajar. Tampilkan tari perang ya patut.

Tapi kepada siapa meraka sasarkan kemarahan dan isyaratkan perang diarahkan? Tentu saja kepada yang nyata-nyata intoleran dan antipancasila. Tentu saja kepada mereka yang coba-coba menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden yang terpilih konstitusional. Ya, tentu saja kepada mereka yang mengancam keutuhan Indonesia ini.
Mengapa perlu dipentaskan di Jakarta. Oh, itu tidak karena mereka yakni perantau yang mementaskan tari perang ini kemarin rata-rata tinggal di Jakarta. Bukan! Bukan itu alasannya. Melainkan karena di Jakarta inilah berdiam para munafikun dan banci kaleng yang tidak berani tampil terang-terangan melainkan suka nabok nyilih tangan, yang jadi dalang dan biang kekacauan senegeri ini. Mereka wajib dibuat ketar-ketir kalau warga Indonesia Timur sudah di batas marah.
Hai para brahman, sudahkah kalian kuberitahu lewat tulisan ini untuk berhenti mengacau?