• Redaksi
  • Info Iklan
  • Kirim Tulisan
  • Daftar
Wednesday, January 20, 2021
  • Login
No Result
View All Result
NEWSLETTER
narasikita.com
  • Home
  • Politik
  • Sejarah
  • Internasional
  • Celoteh netizen
  • Cerpen
  • Hiburan
  • Home
  • Politik
  • Sejarah
  • Internasional
  • Celoteh netizen
  • Cerpen
  • Hiburan
No Result
View All Result
narasikita.com
No Result
View All Result

Jokowi, Erdogan dan Donald Trump

Ketiga-tiganya fenomenal. Ketiga-tiganya mewakili dengan persis wajah bangsa yang dipimpinnya. Tak salah bila dibilang kalau ketiganya trio yang bukan three muskteers.

oleh Agustinus Viki
02/10/2019
di Headline, Internasional, Politik
0
Jokowi, Erdogan dan Donald Trump
29
SHARES
1
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Politik dunia hari ini sangat dinamis. Khususnya muncul dan bertahannya seorang presiden. Bagi para pakar dengan parameter analisis yang baku, dinamika itu sering dianggap kejutan, serial drama tanpa kompas, aneh sekaligus menu debat yang mengasyikan. Jokowi bernasib sama dengan Trump dengan kemunculan keduanya 2014 di Istana Negara dan 2016 di Gedung Putih.

Demikian halnya Erdogan tetap dipercaya memimpin Turki dari Ankara selama 3 periode. Tetapi bagi mereka yang paham peta politik nasional, gejolak ideologi, dan konstelasi global, tak ada yang aneh karena sinyal dinamika itu benar-benar terekam oleh radar analisis yang peka konteks, peka krisis demokrasi, dan saling pengaruh antar faktor. Karena pada dasarnya kemunculan dan bertahannya kekuasaan tidak bercerita tentang kehebatan seorang presiden. Tetapi mengungkapkan masalah dan tantangan yang sedang dihadapi sebuah negara pada 3 tingkatan, nasional, kawasan dan internasional.

Donald Trump adalah cerita tentang Amerika Serikat yang dilanda pertarungan oligarki dua kubu demokrat-republikan di dalam negeri sekaligus kompak menghancurkan dan menjarah negara lain di berbagai kawasan dunia. Slogan America First bukan narasi kosong, tetapi agenda imperium, Pax Americana, yang makin tak terkendali dengan dukungan penuh korporasi global, bisnis pertahanan-keamanan, universitas ternama dan tentakel media massa.

Tak ada pilihan lain, Presiden Trump mengelola konflik politik dalam negeri dengan terus mengabaikan PBB khususnya Dewan Keamanan, melakukan perang dagang tanpa kepastian dengan Cina, kompetisi militer dan nuklir dengan Rusia, dan boikot ekonomi-dagang dengan kekuatan kawasan seperti Iran dan Turki di Timur-Tengah dan Venezuela di Amerika Selatan.

Lebih brutal dari Obama presiden boneka oligarki sebelumnya, bisnis militer ditingkatkan secara dramatis, provokasi perang proksi dan proteksi-asistensi kelompok oposisi di negara-negara target dengan kedok promosi demokrasi-pergantian pemerintah, sebagaimana kita saksikan di Suriah, Yemen, Ukraina, Cina-Hongkong, dan Venezuela.

Singkat cerita, Trump adalah Amerika Serikat yang tidak siap menerima tata global multipolar setelah sekian dekade masa depan jutaan kelas pekerjanya dirampas korporat multinasional, politisi boneka lobi Israel, dan organ-organ lobi internasional lainnya.

Baca Juga :

Kasus Korupsi 3T Labuan Bajo : Kejaksaan Tidak Boleh Terpengaruh oleh Intrik para Mafia Tanah

Publik Menunggu Janji ‘Kado” Tahun Baru 2021 Dari Kejaksaan NTT.

Akhir 2020, Pertamina Hadirkan 106 Pertashop di Jawa Tengah dan DIY

Lain cerita dari Timur Tengah atau kawasan Asia Barat, Tayyib Erdogan adalah kisah Turki yang tak menentu. Negeri batas antar dua benua, yang mewarisi kejayaan Otoman masa silam sekaligus terus mencari posisi dan peran masa kini, sebagai jembatan Timur dan Barat. Tak kunjung dijadikan anggota Uni Eropa dan dipermainkan Amerika Serikat dalam isu Kurdi, Erdogan membangun aliansi multilateral pertahanan dan ekonomi dengan Cina, Rusia dan Iran, tiga musuh permanen Barat.

Politiknya tidak berhenti membela Palestina dari kejahatan kemanusiaan Israel, tetapi strategi geopolitiknya tak mampu menyatukan negara-negara Islam yang saling berperang seperti, Iran dan Arab Saudi, Suriah dan Yaman. Sang Presiden sangat populis terbukti kudeta militer yang didukung Amerika Serikat dan oposisi perantauan tak berhasil tahun 2016, dan sejak itu pemimpin AKP, partai islamis-nasionalis ini, mengikuti jejak Vladimir Putin di Rusia, menertibkan masyarkat sipil dari donor Barat dan propaganda anti-pemerintah.

Hari ini, kekuasaan mantan walikota Istanbul itu terancam dengan kebangkitan elektoral partai-partai oposisi yang berkoalisi. Tapi di atas semuanya, masa depan kepresidennya akan terus bertahan dan boleh jadi semakin populer bagi Turki yang merindukan kedudukan terhormat dalam peta politik dunia Islam di Timur Tengah dan di Eropa yang kian rasis dan anti-migran muslim.

Lalu kita bertemu dengan Joko Widodo. Jokowi adalah cerita Indonesia dalam tentakel oligarki multi-partai dan rakyat yang menaruh harapan padanya untuk memberantas sistem politik parasit tersebut. Berbeda dari politik imperium Trump atau politik nostalgia Erdogan, misi kekuasaaanya sangat sederhana, identik dengan kesahajaan yang selalu digambarkan tentang sosok presiden ini.

Posisi dan perannya menjadi sangat sentral karena adanya krisis kepercayaan publik terhadap oligarki dan tantangan pemerataan pembangunan ekonomi yang belum bisa dibereskan oleh otonomi daerah 31 Propinsi dan otonomi khusus di Aceh, Papua dan Papua Barat. Kekuasaannya pada periode kedua diuji oleh seberapa jauh mampu mengatasi oligarki yang mendukung dan menentangnya, sekaligus di dalamnya berlahan-lahan meninggalkan politik identitas sebagai matriks politik nasional.

Tugas terakhir ini, memberantas politik identitas, bisa jadi sangat menentukan masa depan politiknya dan masa depan Indonesia. Dalam tugas itu sudah dengan sendirinya menghilangkan modus operandi politik oligarki yang melebih-lebihkan bahaya radikalisme, promosi fasis NKRI harga mati, dan promosi isu anti-korupsi untuk saling sandera antar kubu politik.

Sejalan dengan itu, sang presiden perlu memperkuat partisipasi politik warga negara dalam pembuat kebijakan strategis, menggantikan secara berlahan model teknokrasi dalam siklus kebjakan pembangunan dengan model demokrasi yang dapat membedakannnya dari pola pemerintahan Orde Baru dan pemerintahan pasca Orba sebelumnya. Jika jebakan politik oligarki sanggup disiasati, termasuk mencegah menguatnya tren sekuritisasi politik, besar kemungkinan sang presiden mendapat dukungan penuh rakyat selama lima tahun ke depan.

Mengubah secara dramatis, populisme elektoral menjadi populisme demokratis, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dipastikan dengan sikap tegasnya sebagai presiden dan negarawan melampaui semua kubu politik, Jokowi pelan tapi pasti menyiapkan bangsa ini dan pemimpin masa depan menuju arena geopolitik kawasan dan internasional.

 

Bulaksumur, Fisipol UGM 2.10.19.

Agustinus Viki

Agustinus Viki

Dosen Fisipol Universitas Gajah Mada

Berikutnya
PSI yang Didukung Rakyat Siap Habisi Gabrun yang Didukung Radikal

PSI yang Didukung Rakyat Siap Habisi Gabrun yang Didukung Radikal

My Tweets

Populer

  • Tragis! Jonathan Christie Dihujat karena Agamanya

    Tragis! Jonathan Christie Dihujat karena Agamanya

    6122 shares
    Share 6121 Tweet 0
  • Waspada, Indonesia Berpotensi Hilang dari Peta Dunia

    42 shares
    Share 41 Tweet 1
  • Kejaksaan Wajib Urai Proxy Bakrie-Rini-Hexana pada Lingkaran Kasus Jiwasraya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Benarkah Presiden Jokowi Penuhi Ramalan Jayabaya?

    239 shares
    Share 238 Tweet 0
  • Novel Baswedan adalah Iblis di KPK (?)

    507 shares
    Share 506 Tweet 0
  • Tentang
  • Redaksi
  • Info Iklan
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer

© 2018 www.narasikita.com

No Result
View All Result
  • Home
  • Politik
  • Sejarah
  • Internasional
  • Celoteh netizen
  • Cerpen
  • Hiburan

© 2018 www.narasikita.com

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Password Reset
Please enter your e-mail address. You will receive a new password via e-mail.