Tanggal 30 September kiranya bagi Ninoy pribadi selamanya tak lagi akan cuma jadi hari pengkhianatan PKI. Tanggal itu kini menjadi keramat baginya secara pribadi.
Bagaimana tidak, nyawanya nyaris melayang di ujung kapak algojo penculiknya kalau saja dia tidak mampu melaksanakan sholat. Jelas, menurut pengakuannya kalau kapak sudah tersedia untuk memenggalnya. Beruntung dia mampu meyakinkan kalau dia muslim, ditunjukkan lewat KTPnya, lolos juga saat dipaksa sholat berkali-kali untuk mengujinya.
Cerita berawal ketika Ninoy yang mana selama ini dikenal sebagai penulis opini lumayan dikenal publik mencoba membuntuti 3 buah ambulance yang sebelumnya standby di Petamburan, Tanah Abang. Karena ternyata sebelumnya ditemukan Ambulance yang sama terlihat mengangkut batu, logistik dan perusuh. Semuanya dari arah Petamburan, Tanah Abang.
Dia, sebagai jurnalis independen ingin mencari tahu ada apa di dalam ambulance yang beriringan tersebut dari arah gedung DPR MPR tempat terjadinya aksi demo.
Maka, nahas baginya. Petamburan adalah kawasan yang boleh dibilang sebagai sarang FPI. Di daerah ini terdapat kediaman Imam Besar mereka yang sampai kini masih di Arab Saudi, menghindari polisi atas dugaan beberapa kasus yang menjeratnya di tanah air.
Rupa-rupanya saat membuntuti ambulance-ambulance tersebut, ada yang mengenalinya. Dia pun lalu dicegat dan digelandang ke masjid terdekat lokasi penculikannya. Di masjid itulah dia pun harus menderita penganiyaan fisik tergolong berat sebagaimana bisa disaksikan dalam video di bawah ini.
Apa yang dialami Ninoy sepertinya bukan yang terakhir, tapi juga bukan yang pertama tentang bagaimana segelintir orang di republik ini dalam menangani sebuah kasus. Negara ini jelas berlandaskan hukum positif. Namun tindakan warganya terhadap sesama yang dirasa merugikan kepentingannya tak ubahnya bagai tinggal di zaman bar-bar, melampaui apa yang bisa dibuat binatang.
Bahwa dalam pemeriksaan penculik sebagaimana disimak lewat video di atas kalau isi di dalam laptop Ninoy banyak mengandung unsur ujaran kebencian kepada tokoh-tokoh yang terkait dengan kelompok penculik boleh saja dinilai merugikan kelompok tersebut. Namun apabila reaksi atas kerugian itu adalah dengan menganiaya Ninoy, ini menunjukkan kalau pelaku penganiaya bukanlah warga negara teladan. Hukum sama sekali mereka abaikan, yang berlaku adalah pengadilan sepihak.
Dampak dari Pembiaran FPI Berlaku Semena-mena
Bila menyimak lokasi kejadian adalah daerah di mana FPI bermarkas, bolehlah kita simpulkan bahwa pelaku adalah anggota FPI. Bicara sedikit mengenai ormas ini, telah ramai menimbulkan pro kontra di masyarakat. Banyak aksinya tidak mencerminkan semangat bernegara yang benar. Hukum negara mereka langkahi dengan sengaja, beraksi atas tafsiran sendiri, klaim sepihak.
Sejak ada ormas ini tiap moment Natal kini tidak lagi menjadi moment sukacita penuh damai dan keceriaan bagi umat kristiani. Kelompok ini selalu menghiasi moment Natal dengan aksi-aksi sweepingnya yang semau gue, seenak dengkul, padahal umat kristiani cuma menjual pernak-pernik Natal yang bukan tak mungkin justru diproduksi oleh yang bukan kristiani.
Pada bulan puasa juga kelompok ini hadir dengan wajah terornya. Warung-warung yang ketahuan buka pada bulan puasa bakal habis dirubuh-ratakan dengan tanah. Alhasil, keberadaan ormas ini telah menimbulkan ketidakstabilan sosial di tengah masyarakat yang memang dari sononya ditakdirkan berbhineka ini.
Herannya, pemerintah khususnya kementerian dalam negeri dan kepolisian seperti tutup mata saja pada kegelisahan yang menggelayuti benak sebagian besar publik. Ormas ini seperti sengaja dibiarkan entah demi alasan apa.
Pembiaran terhadap kegelisahan publik atas tindakan semau gue dan keberadaan ormas berbalut sorban bersenjatakan ayat-ayat Tuhan ini pada akhirnya melahirkan peristiwa malang dalam diri seorang jurnalis bernama Ninoy. Tragedi yang dialaminya sudah nyaris menyerupai perlakuan-perlakuan buruk yang diterima korban-korban ISIS di Suriah dan Irak satu dasawarwa terakhir ini.
Beruntung tidak sampai hilangnya nyawa, namun apa yang dialami Ninoy harusnya menjadi semacam lemparan kotoran babi ke muka Menkopolhukam, Mendagri dan Kapolri. Ini harusnya memalukan mereka karena nyata tidak berfungsi menjadi alat negara yang menjamin stabilnya kehidupan sosial warganya.
Menkopulhukam harusnya sudah mendorong instansi di bawah naungannya untuk berani bertindak tegas terhadap ormas FPI ini. Jangan karena ada kaitan sejarah pendirian ormas ini dengannya, lantas menutup mata saja pada bejatnya perilaku teror yang dipertontonkan ormas tersebut selama ini.
Mendagri juga sama, harusnya ormas ini lekas dicabut izin operasionalnya saat fakta berbicara kalau ternyata FPI bukannya membawa manfaat bagi kemaslahatan bersama satu bangsa ini malah mudharat. Bagaimana ceritanya jika semua pendukung Jokowi yakni teman-teman sehaluan Ninoy turun ke jalan dan habisi yang tukang fitnah dan hujat dan main hakim sendiri seperti yang dipertontonkan FPI? Tapi sudah sekian tahun ormas ini menghadirkan teror di republik ini, Mendagri manyun-manyun saja, lalu akhir bulan rutin terima gaji dari hasil pajak yang bukan tidak mungkin datang dari tangan-tangan orang-orang yang terzolimi FPI.
Kapolri juga mesti berani ambil risiko. Sebab lebih banyak orang yang antipati kepada FPi dibanding yang bersimpati cuma selama ini memilih jalur cerdas dalam menghadapi keberingasan kelompok tersebut. Jadi, besar harapan publik Kapolri proaktif mendorong anak buah di jajarannya untuk mengusut tuntas kasus Ninoy ini serta menyeret pelaku ke muka hukum. Ini bukan kebun binatang tempat aksi bar-bar bisa leluasa dipertontonkan. Indonesia adalah negara, segalanya sudah diatur Undang-undang. Karenanya, Kapolri punya kewajiban wewenang mengusut ini sampai tuntas.
Kita toh pada tidak ingin cara-cara ISIS menjadi role mode dalam memperlakukan seseorang yang bukan kelompoknya. Kecuali kalau Indonesia memang diniatkan untuk menjadi Suriah berikutnya. Menkopolhukam, Mendagri dan Kapolri, kalian masih cinta NKRI yang berazaskan Pancasila ini, kan?(*)