Oleh Simeon Sion H.
Dua hari berselang demo Tuapukan berlalu. Demo yang dikemas guna bertepatan dengan hari HAM sedunia ini telah menyisahkan seribu pekerjaan rumah bagi kita semua. Tak sedikit korban materi dari aparat kepolisian yang berjaga hingga nyawa jadi taruhannya. Tak sedikit pula hujatan yang diterima meski tidak mendasar.
Tak ayal pula para perusuh disanjung bagai pahlawan kemanusiaan yang berkorban di hari Hak asasi manusia sedunia ini.
Merunut kasus Tuapukan Kamis tanggal 10 Desember 2020 seperti yang diberitakan oleh Media Online Liputan Ambaraya edisi Kamis 10 Desember 2020 dengan judul Refleksi Hari HAM Sedunia Membawa Luka Bagi Warga Eks Tim-tim Tuapukan serta Media Online Babe News edisi 12 Desember 2020 dengan judul Oknum Polres Kabupaten Kupang Diduga Tembak Eks Pengungsi Timtim, Ini Kronologi Lengkapnya.
Perlukah kita mencermati kembali pemberitaan yang dirilis kedua media tersebut ?
Mari kita simak.
Penulis pada jam yang sama terjebak dalam kerumunan massa pengunjuk rasa hingga akhirnya harus mendapat luka-luka akibat dikeroyok massa karena dituding telah memata-matai kegiatan tersebut. Dari rilis berita yang diturunkan medianya terkesan tidak mendasar dan jauh dari kenyataan di tempat kejadian perkara.
Dari kesaksian yang diperoleh kejadian tersebut bermula dari aksi jalanan yang dilakukan warga baru Kamp Pengungsi Tuapukan yang menuntut hak hidupnya disamakan dengan warga baru Desa Oebelo yang diberikan Sertifikat Hak Milik lahan yang mereka tempati namun berlabel Berikan Kepastian Status Tanah bagi WNI Eks Tim-Tim. Aksi ini sudah dirancang sedemikian rupa oleh koordinator umum Egidio Soares agar aksinya bertepatan dengan hari HAM sedunia 10 Desember 2020. Tentu hal ini sudah melalui tahap koordinasi dengan pihak Kepolisian Resor Kupang meski tidak diberikan ijin untuk melakukan aksi.
Tanggal 10 Desember 2020 jam 09.00 Wita aksi mulai berlangsung dengan menggunakan bahu jalan Timor Raya. Arus lalu lintas macet total. Meski sudah dihimbau untuk membatalkan aksi, Polri Tak kenal putus asa demi menjaga kebaikan bersama para pengunjuk rasa dan masyarakat umum, menawarkan untuk mempersingkat waktu orasi dengan mengedepankan protokol kesehatan dan tidak menggunakan bahu jalan demi menjaga tetap lancarnya arus lalu lintas dijalan tersebut. Pihak Polri juga membagi-bagi masker kepada para pengunjuk rasa.
Aksi simpatik kepolisian ini mendapat penolakan dari sebagian pengunjuk rasa dan menganggap pihak Kepolisian menghina mereka. Pengunjuk rasa merasa tersinggung dengan pembagian masker yang dilakukan Polisi dan secara spontan mendorong aparat yang berjaga. Aparat kepolisian tetap bertahan agar massa tidak ringsek ke jalan raya karena bisa mengganggu kelancaran arus lalu lintas. Massa pun semakin bringas dan melempari aparat kepolisian dengan batu dan kayu. Demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan aparat kepolisian memilih mundur karena tidak dilengkapi persenjataan serta peralatan lain untuk melindungi diri.
Melihat aparat kepolisian mundur para pengunjuk rasa dengan leluasa mengejar petugas serta merusakkan kendaraan dinas Polri serta kendaraan warga sekitar dengan lemparan batu. Delapan unit ranmor roda 4 rusak parah belum termasuk roda dua yang terparkir di lokasi unjuk rasa. Tujuh personil Polri terluka hingga mendapat perawatan di rumah sakit.
Aparat Kepolisian dikambinghitamkan.
Sampai tulisan ini dipublikasikan dua media yang penulis sebutkan diatas telah mencederai locus perkara sebenarnya.
Dengan penuh kerendahan hati penulis perlu meluruskan pemberitaan yang sebenarnya agar tak salah paham dan tak salah sangka dengan fakta dilapangan.
Pertama, tidak ada tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian saat unjuk rasa berlangsung seperti yang diberitakan media tersebut. Yang mendapat luka-luka adalah aparat kepolisian yang berjaga saat itu karna tidak memiliki alat perlindungan diri.
Kedua, adanya korban luka tembak terhadap salah satu pengunjuk rasa atas nama Privanto Soares Pinto. Pemberitaan ini tidak didukung dengan fakta medis. Dalam pengamanan unjuk rasa tersebut aparat kepolisian tidak dibekali senjata apapun.
Ketiga, adanya pengakuan para korban lain yang mengakui dirinya menjadi korban penganiayaan.
Hal ini tidak bisa dipertanggung jawabkan secara hukum karena para korban hanya mengadu ke media sosial bukan mengadu kepada pihak berwewenang untuk bisa diambil upaya hukum yang pasti.
Penulis perlu mengurai kembali upaya humanis pihak kepolisian saat mengamankan aksi unjuk rasa di Tuapukan bahwa semula atas nama undang-undang Kepolisian Resor Kupang telah menghimbau untuk membatalkan aksi ini dengan alasan Karantina Kesehatan mengingat Saat ini masa pandemi Covid-19 yang sudah berlaku secara global. Pemerintah telah menetapkan berbagai aturan untuk bersama-sama kita cegah penularan virus ini hingga penerapan undang-undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Alasan lain, aksi ini melanggar UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Aksi ini jelas-jelas dilakukan dijalan raya dan mengganggu arus lalu lintas jalan Timor Raya. Hak pengguna jalan digadaikan hanya demi penyampaian aspirasi yang tanpa sasaran ini. Kerugian materi dan waktu akibat melintasi jalur alternatif sudah menjadi bagian dari derita pengguna jalan yang meilntasi jalur itu.
Pertimbangan humanis lain yang disarankan pihak Kepolisian adalah masa rohani umat Kristiani yang memasuki masa adventus suatu masa dimana umat Krsitiani mempersiapkan hati yang suci menyongsong kelahiran Juru Selamat Dunia, Yesus Kristus. Kekhidmatan Natal akan lebih lengkap bila dipersiapkan dengan hati yang bersih.
Mungkin ada kesaksian lain yang diterima penulis media Online Liputan Ambaraya dab babenews yang menjadi sandingan guna membenarkan pemberitaanya. Sebagai saran sesama penulis alangkah bijaknya kita merilis berita yang berimabang dan benar-benar akurat dengan tidak menyudutkan salah satu pihak yang belum tentu benar.
Penulis menyadari harapan warga baru di kamp pengungsian TUapukan atau kamp-kamp lainnya,yang merindukan pemukiman layak. Sangat manusiawi bila mereka ingin menyampaikan aspirasinya. Tapi mengapa tidak memilih tempat dan waktu yang benar. Misalkan saja ke kantor bupati atau kantor DPRD atau ke kantor Komnas HAM, agar aspirasinya sesegera mungkin bisa dijawab oleh pihak yang menangani masalah mereka ? Kalau saja unjuk rasanya menarik simpati khayalak pasti empati akan didapat. Niscaya lewat doa dan bantuan dalam bentuk materi akan mengalir kelokasi pemukiman mereka.
Sedikit permenungan buat kita semua, Wajarkah kita menyalahkan aparat kepolisian yang menjadi korban bentrokan ini ?
Semoga…