Mengawali tulisan ini, ingin kubagikan status facebook seorang warganet yang rupa-rupanya memiliki ikatan sejarah di masa lalu dengan para aktivis mahasiswa yang hilang sejak 1998 hingga kini. Begini statusnya dia tulis:
“Siang, 13 Maret, keluarga korban penculikan dan korban penculikan memberikan pernyataan pers #KalahkanCapresPelanggarHAM. Saat berada di ruangan mendengarkan para keluarga berbicara, air mata saya mengalir deras. Saya menunduk memainkan handphone supaya tak ada yang tahu saya menangis.
Ingatan saya kepada Bima Petrus yang biasa disebut Bimpet, ingat si ganteng mungil Suyat dan Herman yang serius. Ketiga aktivis PRD ini saat zaman Orba sangat dekat dengan saya. Ibu saya yang mengenalkan mereka kepada saya. Ketika itu aktivis PRD sangat ditakuti oleh orba dalam hal ini Suharto. Mereka diburu seperti kriminal mereka ingin kekuasaan Suharto sebagai diktator jatuh lalu Indonesia menjadi negara demokrasi.
Keluarga mereka ikut diteror dan diinterogasi karena kawan2 ini melakukan aktivitas secara sembunyi2. Aparat Orba menekan keluarga agar para aktivis ini menyerahkan diri atau berhenti “merongrong” Suharto. Namun para aktivis ini tidak takut malah tambah nekad. Tak banyak yang mau berinteraksi dengan kawan2 ini karena keberanian mereka juga kekejaman orba saat itu yang berkuasa tanpa batas.
Kembali mengenang tiga teman ini ya..kalau bertemu sebenarnya tidak banyak bicara politik, topik yang selalu hangat justru yang “tak bermutu” misalnya film Baywatch, lagu2nya New Kids on The Block. Kami bisa terkekeh2 sakit perut karena mereka gak fasih bahasa Inggris. Saya ingat Bimpet selalu tidak menghabiskan makannya, sisanya dibungkus “untuk kawan2 banyak di kost yang belum makan”. Kalaupun dibelikan lebih untuk kawan2nya tetap dibungkus “buat makanku malam nanti”.Duh nangis deh gue.
Dari mereka lah gue banyak belajar soal solidaritas, pengorbanan dan keberanian. Kalau Suyat suka gelendotan dia anggap saya kakaknya, saya ingat dia pernah menangis bercerita bagaimana sederhana keluarganya di kampung. Suyat ingin menyelesaikan kuliah “Biar emakku bangga Mbak”. Yah nangis lagi gue. Nah kalau Herman serius kayaknya masalah harus segera selesai.
Tidak banyak saat itu yang mau berkawan dengan aktivis PRD karena stigma yang diberikan Suharto bahwa mereka PKI dan melakukan subversi. Selain sama mereka bertiga saya juga berteman dengan aktivis yang diculik namun sudah dibebaskan seperti Nezar Patria, Andi Arief, Mugiyanto, Aan dan Jati. Seperti saya, mereka juga rindu dengan tiga anak ini. Bimpet, Suyat dan Herman sudah hilang selama 21 tahun.
Saya sadar saat acara bersama keluarga korban betapa waktu sangat lamban berjalan menanti anak2 mereka kembali. Sebagian besar sudah meninggal sedangkan yang masih hidup mulai sakit2an. Ibu Paiang Siahaan ibundanya Ucok yang hilang juga bahkan kondisi psikis memengaruhi fisiknya yang kian lemah.
Dalam masa pencarian selama 21 tahun korban penculikan ada yang berubah menjadi pro kepada pelanggar HAM yang diduga mengetahui keberadaan para aktivis ini. Saya berusaha untuk tidak sakit hati dan membenci mereka meski buat saya mereka pengkhianat. “Biarlah masa lalu yang keren itu yang selalu saya ingat”.
Buat Bimpet, Suyat dan Herman suatu hari kita akan ketemu lagi,makan sate di Cawang, beli baju di pasar Jatinegara. Saya hidup dengan masa lalu bersama orang2 baik dan berani. Buat para orang tua, di atas langit ada langit. Suatu hari Allah akan menunjukkan dimana anak2 Bapak dan Ibu. Pelanggar HAM itu menjadi kandidat capres 02.
Saya lawan sampai saya sudah tidak bisa melawan….
#TidakMenerimaKomenNyinyir”
Status Ezki ini lumayan menyita perhatian saya. Saya sendiri masih di bangku sekolah menengah pada 1998 itu. Namun, membaca status ini seketika haru menyeruak di dada sekaligus sedih.

Saya yang bukan siapa-siapanya Bima, dkk., saja bisa seperti itu sedihnya. Bagaimana dengan keluarga kandungnya, ya? Lebih-lebih bila mengingat bahwa rasa seperti itu berlangsung selama 21 tahun. Barangkali saya tidak setegar Ibu Misiati, Ibunda Bima. Juga tak sekuat Pak Utomo, ayahnya.
Ya, saya beruntung bukanlah orang tua dari anak-anak muda revolusioner yang kini entah di mana tersebut sehingga saya masih bisa menulis begini di hari ini. Bisa jadi, saya sudah lama tiada dari pentas sejarah lantaran putra kesayangan tetap tidak ketahuan juntrungannya selama puluhan tahun. Maka untukmu Bima, dkk., di mana pun kalian berada kini, terimalah hormat mendalam saya pribadi untuk teladan keberanian yang kalian tunjukkan meski untuk itu nasib kalian berujung tak jelas hingga kini.
Oke, mari melupa sejenak pada rasa yang tercipta akibat dibawa larut berharu-biru oleh status Ezki di atas. Mari mencoba berpikir bahwa benar sinyalemen yang mengatakan bahwa Bima, Herman, Ucok, Suyat, dll. itu sengaja dihilangkan oleh rezim Orde Baru saat itu. Mari pula berasumsi bahwa benar eksekutor di lapangan atas peristiwa dihilangkannya sejumlah aktivis mahasiswa prodemokrasi tersebut pada 1998 adalah atas perintah menantu penguasa Orde Baru, Prabowo Subianto, capres 02 untuk pilpres yang lagi dihelat sekarang ini.
Sengaja saya katakan berasumsi mengingat belum ada penyelidikan mendalam dan independen atas kasus hilangnya barisan aktivis tersebut. Karenanya, ajakan menolak capres pelanggar HAM yang diserukan oleh keluarga para korban tetap kita tempatkan pada kondisi pengandaian. Sebab, meskipun ternyata Prabowo terlibat dalam peristiwa itu, mungkin saja dia bukanlah aktor satu-satunya. Inilah pula yang menyebabkan terjadinya polemik antar para purnawirawan beberapa minggu yang lalu melibatkan sejumlah mantan jenderal baik dari kubu 01 maupun 02.
Akan tetapi, meski misal benar bahwa Prabowo bukan satu-satunya aktor di balik penculikan para korban tersebut, yang jadi fakta saat ini adalah Prabowo maju mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat presiden RI 2019-2024. Apalagi kalau ternyata kelak terbukti bahwa Prabowo benar-benar merupakan otak di balik penculikan tersebut dan merupakan satu-satunya.
Sebagai salah satu saja, harusnya ini menjadi poin pertimbangan pemilih untuk memilih Prabowo sebagai calon pemimpin negeri ini selama 5 tahun ke depan. Kenapa?
- Orang dengan memiliki catatan buruk soal HAM dipastikan tak akan bakal bisa menegakkan agenda-agenda penegakan HAM. Bagaimana mungkin dia bisa tegakkan HAM jika dia sendiri dibayang-bayangi oleh ancaman bakal dibuka kedoknya sendiri?
- Bisa saja tabiat masa lalunya terbawa terus saat sudah tampil menjadi pucuk pimpinan negeri. Apa jadinya bila kaum kritis diberangus dan dihilangkan? Demokrasi pun menjadi taruhannya. Lebih dari itu, reformasi yang bergulir lebih dari 20 tahun bisa-bisa kembali mundur menuju masa kelamnya perjalanan bangsa yang merdeka ini yakni masa Orde Baru.
Maka, dengan menyimak alasan itu saja, rasanya sudah cukup bagi kita untuk menyanggupi ajakan keluarga korban penculikan mahasiswa untuk TIDAK MEMILIH CAPRES PELANGGAR HAM.(*)