Pada Rabu, 10 Juni kemarin, agenda sidang mengenai Jiwasraya digelar untuk mendengarkan eksepsi para terdakwa kasus Jiwasraya. Sebagaimana diniatkan oleh penulis sejak awal, kasus ini akan penulis kawal hingga tuntas. Bila ditanya mengapa penulis tertarik mengawal kasus ini, tak lain karena JS adalah kepentingan banyak orang. Ada 17an ribu jiwa jumlahnya dengan total aset nyaris 17 T yang raib. Penulis terpanggil untuk coba mengulik dan menyibak, praktek-praktek apa saja di balik gagal bayarnya JS terhadap nasabah, padahal ini adalah BUMN. Karenanya, penulis berharap agar pembaca turut serta ikuti terus kasusnya.
Maka, bagi pembaca yang baru mau ikuti kasusnya, kesempatan kali ini penulis pakai untuk menggambarkan kasusnya menggunakan perumpamaan. Berikut ini perumpamaannya.
JS Itu Ibarat Bus, Sudah Rusak Sebelum 2008
Jiwasraya itu seperti sebuah bus dari sebuah Perusahaan Otomotif (PO), sebut saja Mira, melayani trayek Surabaya – Jogja. Sebagai bus, Mira harusnya hanya boleh angkut manusia saja. Tapi, oleh sopirnya di era 2008 ke bawah, bus itu dipakai pula untuk angkut material proyek seperti batu, basir, besi, kayu, semen, dll. Maka wajar bila busnya alami kerusakan lebih cepat. Itu adalah akibat dari praktek inefisiensi yang dilakukan oleh sopirnya pada periode sebelum 2008.
Pada 2008, bus Mira yang harusnya sudah masuk bengkel ini dipaksa tetap berangkat menuju Jogja seperti biasanya. Baru jalan sampai Nganjuk, busnya sudah ngos-ngosan. Ironisnya, yang pemilik lakukan adalah ganti sopir, bukan maintain busnya. Dalih pemilik, sopir baru adalah orang yang tak cuma jago nyetir tapi juga jago perbaiki bus kalau alami kerusakan. Singkat kata, masuklah seorang sopir cakap (Hendrisman), lengkap dengan krunya.
Pergantian Kru 2008 dan Gebrakan-gebrakannya
>1. Skema PMN. Para kru ini masuk, langsung sadar kalau busnya memang bermasalah. Maka, kru ini pun mencari cara supaya penumpang yang sudah kadung naik ke bus mereka untuk tetap sampai di Jogja. Mereka pun usulkan supaya pemilik berkenan memberi mereka bus lain, sementara bus mereka diperbaiki dulu di bengkel (Penyertaan Modal dari Negara).
> 2. Skema Zerro Coupon Bond. Pemilik menolak karena saat itu tak ada bus yang nganggur. Coba juga dengan cara pemilik carter bus dari PO lain katakan PO Sumber Slamet dengan perjanjian bus Sumber itu cukup lanjutkan saja antar penumpangnya dari Nganjuk ke Jogja, bayarnya utuh seolah dari Surabaya hingga Jogja (skema Zerro Coupon Bond yang juga pernah diusulkan ke negara pada 2008-2009). Pihak pemilik juga juga menolak usulan kru ini.
Sebagai kru yang diberi tanggung jawab mengantarkan penumpang, tentu para kru bus ini dilanda kebingungan. Cara-cara yang masuk di akal dengan melibatkan pemilik sudah coba diusulkan, tapi mentok. Maka bus pun dipaksa untuk tetap jalan dengan cara pas di datar dan menanjak didorong, pas menurun dibiarkan menggelinding sendiri.
>3. Skema Reasuransi. Tanggung jawab ke penumpang demikian besar maka sambil jalan, kru mencari cara yang sekiranya masih bisa antarkan penumpang mereka ke Jogja. Nyaris mendamba mukjizat. Tapi benar mukjizat datang berupa deal antara kru Mira ini dengan kru dari bus lain milik PO Eka. Ini deal antar kru bus dari dua PO berbeda: bus Mira dan bus Eka. Pemilik bus Mira tidak dilibatkan di sini.
Dealnya adalah kru dari bus PO Eka tersebut berkenan dititipi penumpang dari bus Mira secara bertahap dengan jangka waktu 2 tahunan sekali trayek. Jadi, penumpang Mira dititipkan di antara penumpang Eka. Berdasarkan hitung2an ini, beban tanggungan bus Mira ini akan bisa selesai 17 tahun kemudian dari sejak deal dibuat (skenario restrukturisasi 2009-2026).
Trayek pertama lancar, ada beban yang berkurang cukup signifikan. Hal ini menimbulkan optimisme. Maka pas trayek kedua hendak dilangsungkan, para kru Mira berani merevaluasi seluruh sparepart milik bus mereka untuk tujuan dijualkan demi membeli sparepart KW mengingat pas ketika itu (2013) ada aturan pertransportasian bahwa semua bus penumpang di Indonesia harus merevaluasi semua sparepart yang ada pada bus masing-masing. Aturan ini memungkinkan kru untuk bisa menjual sparepart mereka demi beli sparepart baru meski kawe-kawean.
Berkenalan dengan Manager Investasi, Sparepart Dimainkan di Pasar Modal
Niat para kru ini adalah mereka jual beli sparepart ini demi operasional bus dan juga kalau bisa sebelum 2026, mereka bisa jalan dengan sparepart ori. Karenanya, mereka pun merasa perlu berkonsultasi dengan pihak yang berkompeten di bidang penilaian soal jual-beli sparepart kawe-kawean. (Hal ini terjadi pada 2013 saat direksi Jiwasraya berkonsultasi dengan manajemen investasi Reksadana).
Optimisme yang timbul dari hasil deal dengan kru bus Eka di trayek pertama dan adanya kemungkinan mereka bisa menjual sparepart mereka di bus membuat semangat menuntaskan secepatnya beban tanggungan atas penumpang timbul dengan sendirinya.
Oleh manajemen investasi di atas, produk direkomendasikan untuk dijual di pasar barang bekas di kota Solo (pasar modal). Sebab menurut para konsultan tersebut, di pasar di Solo tersebut harga sparepart bekas bisa dijual dengan harga di atas harga barang ori baru, kru dimungkinkan juga untuk bisa beli sparepart kawe dari grade terendah ke yang paling tinggi hingga ori yang baru.
Di pasar tersebut ada seseorang yang dikenal jagoan dalam mengubah-ubah harga produk dari yang tadinya rendah menjadi sangat tinggi, juga sebaliknya. Goreng-menggoreng harga produk memang keahliannya. Itulah Beny Tjokro dan kepada dialah nantinya spare part bus Mira ini dititipkan.
Para kru ini pun tertarik. Jadilah mereka sepakat menjual ke pasar tersebut melalui manajer investasi tersebut di atas. Oleh manajer investasi ini, produk Mira lalu dititipkan ke Beny Tjokro, dkk. Oleh Bentjok, produk Mira ini lalu digoreng-gorengnya sedemikian rupa harganya.
OJK Diam, Ada Apa?
Yang menjadi janggal, pasar tersebut diawasi oleh perwakilan pemilik bus Mira. Perwakilan pemilik bus Mira ini berkewenangan untuk mencegah dan menindak praktek jual beli sparepart bus di pasar tersebut, utamanya yang dilakukan oleh bus-bus milik PO Mira. Artinya, perwakilan ini punya kewajiban untuk menanyakan asal-usul barang yang hendak dijual di situ. Mereka juga bisa tahu permainan harga produk-produk yang dijual di pasar tersebut. Perwakilan itulah yang namanya OJK.
Nyatanya, bus Mira yang bermasalah ini tadi tetap berhasil masuk ke pasar itu. Pakai pinjam tangan pedagang di pasar tersebut pula, bukan pemiliknya langsung. Anehnya, OJK diam saja. Harusnya dia sebagai perwakilan pemilik PO Mira, bereaksi seketika mengingat sparepart milik bus Mira nyata terlihat didagangkan di situ. Mereknya terlihat jelas, jadi meski tidak dijual oleh manajemen Mira secara langsung sekalipun, tetap ketahuan kalau itu milik Mira. Lalu, mengapa OJK tak ada reaksi setidaknya berupa teguran?
JS Kini Menjadi Idle (Suspend)
Di awal-awal, skema jual beli sparepart ini berlangsung lancar, cetak untung. Makanya pada 2014 sempat diberitakan bahwa Mira, eh, Jiwasraya dinyatakan mulai bangkit.
Sayangnya, pada 2018 kru 2008-2018 ini diganti. Masuklah kru baru, tidak ada serah terima dan disinyalir deal antar kru Mira yang lama dan kru Eka yang terjadi pada 2009 ikut jadi tak jelas kelanjutannya di sini.
Hingga akhirnya, para penumpang yang harusnya hari itu sudah tiba di Jogja, tak kunjung sampai juga. Polisi mengusut, ternyata busnya memang sudah rusak. sparepartnya semua masih ada di pasar tapi dengan harga yang sangat rendah. Dan karena sedang diusut polisi, sparepart tersebut pun dalam kondisi *idle* (suspend).
Itulah nasib Jiwasraya kini….
Jokowi selaku presiden dan Eric Thohir selaku Menneg BUMN harusnya sudah tahu tentang masalah ini. Kalau pun belum, mudah-mudahan artikel sederhana ini mampu menggambarkan secara ringkas apa sebetulnya yang terjadi.
Benar bahwa beberapa pihak kini diseret ke pengadilan, namun kesannya tidak fair. Kru dan pedagang di pasarnya saja yang diseret, sedang OJK yang terkesan mengondisikan malah tak disentuh sama sekali. Publik apalagi netijen julid dijamin tak akan diam melihat ketidakadilan ini.
Kejaksaan Agung RI perlu diapresiasi khusus karena berhasil membongkar kasus ini. Hanya saja, belumlah maksimal. Karenanya, kejaksaan perlu mengusut sampai tuntas, tidak hanya sampai ke pedagang pasar modalnya saja tapi keterlibatan oknum-oknum OJK dalam permainan mereka. Jika penegakan hukum tidak holistik, kasus ini akan sama saja dengan mega-mega skandal lainnya, hanya sampai kroco-kroco, yang jadi korban selalu masyarakat (nasabah). Kalau mau patahkan mata rantai skandal semua harus dibantai, maju terus Pak Jaksa Agung, integritas anda diuji di kasus ini.
BERSAMBUNG
Catatan Redaksi: Artikel ini terbit pertama kali di sini.
__________________
Catatan:
1. PO Mira adalah negara.
2. Bus Eka dalah asuransi lain
3. Pasar barang bekas Solo adalah personifikasi Pasar Modal
4. Benny Tjokro adalah pemain di pasar modal yang memang dikenal jago goreng menggoreng saham.
5. Polisi yang mengusut adalah personifikasi untuk pihak kejaksaan.