Jokowi sering bermain dengan kode. Entah susunan kursi tersebut adalah susunan yang diatur Jokowi langsung atau tidak. Akan tetapi, publik diperlihatkan dengan sebuah pemandangan yang berbeda secara mencolok. Ahok dan Anies ditempatkan dalam posisi yang begitu jauh berbeda.
Ahok ditempatkan di barisan belakang keluarga Joko Widodo. Sedangkan Anies ditaruh di pojok. Ahok sumringah sedangkan Anies terlihat wajahnya tertekuk, benguk dan benar-benar sudah seperti benang gelasan kusut. Ahok wajahnya cerah, bersinar, merona, seperti pengantin baru. Eh. Memang udah kan?
Kursi yang ditempatkan Ahok sungguh dekat dengan kamera. Dia dengan mudah disorot oleh kamera. Memang dia bukan duduk di kursi paling depan. Mengapa? Karena barisan paling depan memang untuk keluarga inti. Ada Kaesang, Kahiyang, Bobby Nasution, Gibran dan jajaran kakak adiknya Joko Widodo.
Ahok duduk kalau tidak salah di baris ketiga, di kelompok keluarga Joko Widodo. Dari sini kita melihat bagaimana Jokowi menempatkan Ahok sebagai orang yang dekat dengan keluarga. Memang secara status politik, dia sudah non job. Meski dia sudah kader partai PDI-P, dia tetap masih dorman alias tidur.
Penempatan Ahok ini memang menunjukkan bagaimana dirinya sudah pantas ada di sana. Orang ini benar-benar berhasil mencuri perhatian rakyat.
Ahok ini mentereng. Prestasinya begitu baik, dirinya begitu dicintai rakyat. Hasil kerjanya jelas. Meski kata-katanya agak tajam dan kalimatnya menusuk seperti pedang yang menghujam tajam ke arah para koruptor dan pejabat malas, dia ini baik.
Hatinya benar-benar luar biasa tegar. Meski dihina dan diserang dari sisi SARA, orang ini tetap bekerja. Bagi para warga yang dianggap minoritas, tetap bekerja profesional dan tetap tegas walau difitnah, itu bukan hal yang mudah.
Kerja keras Ahok membuahkan hasil. Dia diposisikan dekat dengan keluarga. Artinya, orang ini masih dianggap penting, meski sudah mangkat.
Sedangkan Anies?
Manusia ini adalah orang yang tidak penting, meski masih menempati posisi pemimpin. Orang ini diposisikan di pojokan.
Kalau di sekolah keponakan saya, anak yang nakal dan sering berulah, diduduki di sebuah pojokan ruangan. Namanya pojokan karakter. Keponakan saya sering menangis saat dihukum guru untuk duduk di pojok karakter.
Tampangnya seperti Anies. Cemberut, tidak bisa tersenyum. Karena dia tahu bahwa dirinya diposisikan di tempat yang tidak seseksi Ahok. Maka tidak heran jika arah kamera dan sudut alias *angle* kamera tidak pernah menyorot Anies. Apakah Jokowi sengaja mengusik Anies dengan cara mendudukkannya di pojok karakter?
Secara karakter, Joko Widodo bukanlah orang yang pendendam. Justru Jokowi perduli dengan Anies. Dia tahu bahwa Anies harus dipepet ke ujung agar tidak tertangkap kamera. Demi apa?
Demi harga diri Anies itu sendiri. Kita tahu bahwa Anies ini sering mendapatkan cibiran dari warga. Dia sering dikritik dan terkadang kritikannya memang sangat ketus dan kocak. Mengapa?
Dia pantas mendapatkannya. Jakarta tidak semakin baik, malah semakin buruk di bawah kepemimpinannya. Saya melihat bagaimana Jokowi adalah orang yang baik, menempatkan Anies di tempat yang agak sulit dijangkau kamera.
Penulis juga melihat bahwa memang dalam hal ini, Joko Widodo sudah tepat. Dia tidak sedang memojokkan Anies. Dia tahu bahwa orang yang tidak bisa bekerja ini, sering tertangkap kamera dengan mimik yang terlihat kurang senang. Dari sini kita harus paham, bahwa penempatan ini bukanlah kebetulan.
Lagipula, tidak ada yang salah dengan penempatan ini. Sebenarnya penulis hanya ingin memberikan pemaparan bahwa orang yang ada di pojokan itu, bukan selalu dianggap menyebalkan. Tidak. Mereka butuh di pojok, agar mereka merefleksikan dan berpikir, bahwa mereka harus berubah.
Politik simbol itu memang baik. Akan tetapi, kita harus memahami bahwa Joko Widodo sudah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya. Anies memang layak ada di ujung sana. Merenungkan ketidakbecusannya dalam mengurus kota.