Oleh: Susy Haryawan
Demokrasi itu salah satu cirinya adalah menang dengan suara terbanyak. Soal suara diperoleh dengan manipulasi, mengubah persepsi, atau membeli pemilih, itu bisa saja terjadi.
Maka perlu lembaga-lembaga yang menjamin bahwa kecurangan tidak bisa terjadi, itu mungkin utopis, minimal ya bisa sebisa mungkin yang terbaik. Di Indonesia, ada Bawaslu, KPU, DKPP, MK, peradilan dari PN hingga MA, dan itu dibuat untuk meyakinkan bahwa demokrasi berjalan dengan semestinya.
Potong kompas di desa-desa sudah terjadi, suara pemilih dibagi dua dikalikan dengan X rupiah dengan berbagai cara untuk mengikat pemilih untuk menjadi kepada desa, dan itu sudah mulai menggejala. Tidak perlu susah payah membangun reputasi dan prestasi, ada uang, jabatan pun kepegang.
Namun namanya manusia, diberi bekal akal budi, belum tentu hal baik yang dihasilkan, kecerdikan, kepandaian, dengan kemajuan teknologi, toh makin mudah dan makin canggih tipu muslihat, membelokan persepsi, dan mengolah hasil yang bisa seolah-olah benar, padahal salah.
Demokrasi yang baik sejatinya memperlukan yang namanya sikap ksatria untuk siap menang dan siap kalah. Ini yang membedakan kualitas berdemokrasi. Ketika demokrasi itu asal suara terbanyak, ya sudah uang, kekerasan, tekanan, dan manipulasi bisa menjadi panglima yang menguntungkan.
Orang yang mengintimidasi pemilih itu sejatinya tidak siap kalah, mereka merasa mampu, yang pada dasarnya sama sekali tidak mampu, maka mereka membuat pemilih bingung dengan berbagai cara.