Oleh: Boni Hargens*)
Bicara mengenai demokrasi selalu memuat prinsip-prinsip pokok, antara lain: kebebasan (freedom), kesetaraan di muka hukum (equality before the law), dan adanya aturan hukum (rule of the law).
Ada dua domain besar yang membentuk substansi dari demokrasi, yang karenanya menjadi parameter dalam mengukur kualitas demokrasi an sich: hak politik (political rights) dan kebebasan sipil (civil liberties).
Dalam perspektif demokrasi, #2019GantiPresiden adalah ekspresi kebebasan demokratik. Itu bagian dari hak politik sekaligus manifestasi dari kebebasan sipil. Lantas, dimana letak masalahnya?
Gerakan #2019GantiPresiden lahir dalam konteks politik yang panas karena gerakan politik identitas yang menjadi “efek kupu-kupu” dari proses politik Jakarta tahun 2017—yang sebetulnya dimulai tahun 2012 ketika Fauzi Bowo melawan Joko Widodo dalam Pilkada DKI Jakarta.
Gerakan ini dicetus dan dikendalikan oleh elite Partai Keadilan Sejahtera Ali Mardana Sera yang kemudian dibantah PKS sebagai gerakan partai, melainkan “gerakan umat”.
Soal istilah, silahkan saja berubah. Yang jelas, masyarakat tahu bahwa itu gerakan politik yang dirancang dan dijalankan oleh kader PKS. Formalitas dari gerakan bisa saja non-partai tetapi dari aspek factual-historis, orang tahu bahwa itu gerakan politik partai.
Ada dugaan, kelompok radikal yang memperjuangkan Khilafah ikut memboncengi gerakan #2019GantiPresiden. Dugaan ini didukung oleh berbagai temuan intelijen di lapangan yang melihat adanya spanduk Khilafah berlogo partai PKS seperti pada foto di bawah ini.

Jadi, letak masalahnya pada motif dan pelaku gerakan #2019GantiPresiden: (a) gerakan itu dijadikan kuda Troya untuk kepentingan yang membahayakan ketahanan ideologi negara, dan (b) diduga ada kelompok radikal ikut di dalamnya untuk memperoleh jalan kekuasaan dalam rangka mendirikan Khilafah sebagai cita-cita politik mereka.
Format dari gerakan itu jelas demokratis, karena tiap orang atau kelompok boleh menyatakan sikap/pandangan politiknya dengan cara berserikat/berkumpul, menyatakan aksi protes, dan sebagainya.
KUHP pasal 106-110 mengatur soal makar. Saya tidak ingin masuk ke wilayah itu. Terlalu jauh dan vulgar untuk menyimpulkan itu sebagai gerakan makar.
Masalahnya lebih penting dari sekedar makar yang subtansinya adalah upaya menggulingkan kekuasaan/pemerintahan yang sah. Masalahnya adalah ada anasir yang ingin menggantikan dasar Negara Pancasila dan mendirikan NKRI Syariah seperti yang seringkali diteriakkan dalam orasi di berbagai aksi unjuk rasa sejak tahun 2016 di Jakarta dan di berbagai kota lain di Indonesia.
Harus dilarang, karena dua alasan : (a) ketahanan ideologi Negara dan (b) keamanan masyarakat.
Terkait dugaan ditunggangi oleh gerakan khilafah, #2019GantiPresiden jelas menjadi ancaman bagi ketahanan Pancasila sebagai ideologi Negara. Pada ranah ini, seluruh institusi keamanan dan komunitas intelijen wajib hukumnya untuk terlibat dan melakukan tindakan pencegahan dengan tetap menjunjungtinggi prinsip hak asasi manusia dan rule of the law.
Gerakan ini adalah murni gerakan politik. Konsekuensinya, ada implikasi politik yang fatal seperti benturan horizontal antara masyarakat yang mendukung dan menentang gerakan tersebut. Dalam hal potensi gangguan keamanan masyarakat ini, aparat intelijen wajib mengumpulkan informasi dan institusi kepolisian melakukan tindakan hukum untuk mencegah terjadinya ekses negatif dalam bentuk apapun.
Terkait alasan keamanan ini, pelarangan terhadap deklarasi lanjutan #2019GantiPresiden di kota-kota lain di tanah air merupakan bentuk komitmen aparat hukum terhadap perlindungan masyarakat dan penegakan hukum.
Bawaslu adalah aparat elektoral yang fungsinya melakukan tugas pengawasan dalam rangka menjamin keberlangsungan proses pemilu secara demokratis.
Sebagai gerakan politik, tentu #2019GantiPresiden ini dilihat oleh Bawaslu dalam kerangka aturan hukum pemilu. Secara prosedural, tidak ditemukan unsur yang melanggar aturan. Maka, masuk akal keputusan Bawaslu yang menyatakan tagar itu bukan pelanggaran pemilu.
Disputasi/perbantahan terjadi ketika melihat substansi dari gerakan itu. Jelas-jelas ini gerakan politik, maka Bawaslu harus menafsirnya secara khusus, yaitu melakukan interpretasi hukum secara substantif, bukan secara leterlek (Belanda: letterlijk) atau literal. Secara substantif, gerakan ini dapat dikategorikan “curi start kampanye” karena gerakan ini sejatinya ingin mendelegitimasi Jokowi sebagai kandidat presiden yang berhadapan dengan Prabowo sebagai tandingannya. Kampanye resmi berlangsung 23 September 2018-13 April 2019.
Dilihat dari aktor di balik gerakan ini, mereka adalah bagian dari pendukung lawan Jokowi. Maka, jelas ini gerakan kampanye yang harus ditertibkan dengan aturan pemilu. Atas dasar itu, harusnya Bawaslu menyatakan gerakan ini pelanggaran kampanye.
_____
*)Boni Hargens, Pengamat Politik Nasional
Catatan Redaksi: artikel ini merupakan saduran dari presentasi power point Boni Hargens, terbit di sini atas izin yang bersangkutan.