Oleh : Ferdi Kabelen
Preseden terburuk sepanjang sejarah pilpres bangsa ini adalah pilpres 2019 yang akan datang. Indikatornya jelas terbaca. Faktor penyebab yang jadi motif utamanya adalah sakit hati, iri, dengki serta perasaan terancam. Atau lebih tepatnya kebelet kuasa yang dipicu oleh kepanikan akan prestasi dan elektabilitas Jokowi yang terus meroket. Singkatnya mereka harus bisa merebut kekuasaan atau bakal habis tergilas dan akhirnya bangkrut.
Rasanya kita hampir tak punya kata yang tepat untuk menggambarkan tragisnya ambisi kuasa yang tak pernah terpenuhi, walau sudah diupayakan berkali kali secara konstitusional. Jadi bayangkan saja berapa kali mimpi yang harus dikubur paksa dan pengorbanan moril materiil yang terbuang secara sia-sia demi sebuah ambisi? Ya…. ambisi yang sia-sia lantaran tak kunjung membuahkan hasil. Laksana menjaring angin sepanjang ambisi dikandung badan.
Adalah kenyataan paling menyedihkan, tapi juga seharusnya disesalkan dalam catatan kelam suksesi kepemimpinan kali ini adalah orang secara tahu dan mau melanggar konstitusi untuk menegakan konstitusi. Bahkan akan menjadi fakta sejarah yang pasti menjadi elegi bagi anak cucu bangsa ini kelak ketika mereka mencoba melawan lupa. Di mana mereka akan menemukan sekeping cerita duka tentang manusia yang mengorbankan manusia lain demi memimpin manusia yang sudah dikorbankannya. Walau kedengaran konyol tapi semua ini adalah hal yang terpaksa waras di zaman kita.
Bagaimana tidak? Dari sekedar #2019gantipresiden hingga gerakan deklaratif yang dilakukan secara bergilir sebenarnya sebuah fakta kemunduran demokrasi bangsa ini, tapi malah berteriak dikebiri oleh rezim represif. Bukan hanya itu saja, gerakan ini sejatinya adalah sebuah pemerkosaan terhadap konstitusi dan upaya makar terhadap kepemimpinan yang sah, tapi malah semakin kencang berteriak agama dizalimi, saatnya siap berperang seperti di zaman nabi, dan semua apa saja yang berbau agama. Apakah ini bukan sebuah penyesatan dalam berdemokrasi?
Kenyataannya, nilai demokrasi yang jadi alasan mereka justru sedang dikangkangi dengan bangga oleh Prabowo-Sandi dan pendukungnya sendiri. Lihat saja, bagaimana orang harus mengabaikan hak dan kebebasan orang lain demi kebebasannya sendiri. Bagaimana segala cara dihalalkan demi tujuan yang katanya mulia. Ha ha ha ha…. rasanya lucu dan lagi pula malu kalau harus dibilang lacur.
Nampaknya dari rangkaian pernyataan asal bunyi hingga melanggar undang-undang pemilu berikut tata cara berkampanye, semuanya nampak mereka lakukan secara sengaja dan terencana. Ya, sangat terencana dalam melakukan pelanggaran. Dan akhir dari drama pelanggaran ini adalah mereka memproyeksikan diri sebagai korban dari sebuah pemerintahan yang repressif, otoriter dan sewenang-wenang. Biasalah dalam rangka brainwash konstituen jadi galang empati. Tragis nian bukan?